"Naskah akademik yang dijadikan bukti oleh para pemohon adalah naskah akademik yang memiliki halaman depan atau cover per-tanggal September 2019 sementara naskah akademik yang dijadikan lampiran bukti oleh DPR tidak terdapat halaman depan atau kabar dan tidak tercantum tanggal," ucap Saldi Isra.
Sedangkan, terkait Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU KPK hasil revisi, Saldi menjelaskan hal itu tidak bisa dijadikan tolok ukur terjadi pelanggaran formil.
Sebab, meski tidak ditandatangani presiden, UU KPK tetap berlaku dengan sendirinya apabila dalam waktu 30 hari tidak ditandatangani.
Dissenting opinion
Namun, hakim konstitusi Wahiduddin Adams memiliki perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan uji formil UU KPK ini.
Dalam salah satu pandangannya, Wahiduddin menilai momentum pengesahan UU Nomor 19 Tahun 2019 terkesan terlalu tergesa-gesa.
Pasalnya, pengesahan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK disahkan tidak beberapa lama sejak kontestasi penyelenggaraan Pilpres 2019 dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada bulan Oktober 2019.
Bahkan, ia juga menyoroti cepatnya penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari rancangan undang-undang KPK (RUU KPK) yang diserahkan Presiden Jokowi kepada DPR RI.
Wahiduddin menjelaskan, berdasarkan keterangan pembentuk UU yakni DPR, rapat kerja pertama revisi UU KPK dilaksanakan pada tanggal 12 September 2019, sedangkan rapat panitia kerja pertama dilaksanakan tanggal 13 September 2019.
Adapun karena UU KPK adalah inisiatif DPR maka penyusunan DIM harus dilakukan oleh pihak Presiden.
Menurut dia, penyerahan DIM dapat dilakukan dalam kurun waktu paling lama 60 hari, ia pun heran atas cepatnya proses penyerahan DIM tersebut.
"Dalam konteks ini saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apa pun yang dapat diterima oleh common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM RUU kurang dari 24 jam," ujar dia.
Baca juga: Hakim MK Wahiduddin Adams Sebut DIM dalam Proses UU KPK Tak Sesuai Common Sense
Selain eks pimpinan KPK, pemohon lain dalam perkara ini adalah Erry Riyana Hardjapamekas, Mochammad Jasin, Omi Komaria Madjid, dan Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo.
Kemudian disusul Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Fickar Hadjar, Abdillah Toha, dan Ismid Hadad.
Sedangkan 39 kuasa hukum meliputi Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, YLBHI, hingga sejumlah kantor hukum profesional.