TIDAK bisa dipungkiri, terorisme kerapkali dikaitkan dengan agama. Padahal, tidak sedikit bantahan dari sejumlah pihak bahwa tidak ada hubungan antara terorisme dengan agama.
Bantahan-bantahan tersebut dengan menyodorkan sederet argumen, seperti bahwa terorisme adalah terorisme dan agama adalah agama.
Teorisme merupakan paham yang membentuk pandangan dan tindakan bahwa ketakutan pihak lain adalah pintu masuk utama untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.
Sedangkan agama merupakan ajaran illahiyah yang membentuk pandangan dan tindakan (akhlak) umat manusia bahwa kedamaian dan keselamatan manusia adalah satu-satunya gerbang untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat (fii dunya hasanah wa fill akhirati hasanah).
Pihak-pihak yang kerap mengkaitkan terorisme dengan agama juga tentu didasari dengan sejumlah argumen. Di antara argumen yang paling banyak digunakan adalah bahwa fakta menunjukkan mayoritas para pelaku teror berlatar penganut agama.
Selain itu, para pelaku teror dalam setiap aksinya kerap menggunakan simbol-simbol agama, baik secara verbal maupun non-verbal.
Teror bom bunuh diri di depan gereja Katedral Makassar-Sulawesi Selatan (28/3/2021), teror penyerangan dengan airgun oleh seorang perempuan di Mabes Polri (31/3/2021), dan rentetan teror-teror setelah dan sebelumnya sering dikaitkan dengan fakta terbuka adanya relasi antara teror dan simbol-simbol agama.
Masing-masing argumen tersebut setidaknya mengemuka ketika penulis menghadiri kegiatan Dialog Lintas Agama yang dihelat oleh Bagian Bina Mental Spiritual Biro Kesra Setda Pemprov Jawa Barat pada tanggal 6-8 April 2021.
Kegiatan yang menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) itu bertema meneguhkan Jawa Barat sebagai rumah bersama semua umat beragama.
Pengusungan tema itu tampaknya juga bukan tanpa argumen. Sejauh ini misalnya, Jawa Barat dalam sejumlah riset, termasuk dari Moderate Muslim Society dan Setara Institute, dikategorikan sebagai provinsi yang paling intoleransi.
Semakin merebaknya pelanggaran kebebasan beragama, seperti tindakan-tindakan persekusi terhadap minoritas, adalah fakta adanya intoleransi yang sulit terbantahkan. Parahnya lagi, menurut sejumlah riset itu bahwa intoleransi semakin bereskalasi juga karena didorong oleh faktor pembiaran dari pemerintah daerah terhadap tindakan intoleransi.
Baca juga: Mayoritas Publik Khawatir Terorisme, Pengamat Nilai Perlu Peran Pemuka Agama
Ini artinya, negara melalui pemerintahan daerah absen dalam pengelolaan hubungan antarumat beragama, yang notabene juga warga negara.
Maka, wajar muncul spekulasi yang bermacam-macam mengenai adanya relasi negara dengan kelompok intoleransi. Kelompok keagamaan yang mengutamakan kekerasan dalam menghadapi masalah kehidupan karena dasar perbedaan agama.
Kegiatan Dialog Lintas Agama di atas adalah sejatinya menjadi salah satu wujud kehadiran negara sebagai jawaban kontan yang selama ini dinilai banyak absen. Kehadiran negara berupa pengelolaan kehidupan beragama yang harmoni.
Kehidupan agama yang harmoni melalui program kerukunan umat beragama tentu bukan satu-satunya cara dalam penyelesaian masalah terorisme. Karena akar masalah munculnya terorisme bukan hanya soal beragama, tetapi juga soal bernegara.
Terorisme itu sendiri, seperti disampaikan Guru Besar Tamu Universitas London Prof Ziauddin Sardar (2004), ibarat nyamuk. Dia (terorisme) tak dapat dihilangkan dengan membunuh 1-2 ekor nyamuk, melainkan dengan membersihkan kubangan, selokan, atau sungai yang menjadi sarang nyamuk tersebut.
Artinya, membasmi terorisme tidak hanya fokus pada pelakunya, tetapi juga pada lingkungan-lingkungan yang memembentuknya. Yaitu, lingkungan lokal, nasional, dan global yang penuh genangan air kotor gara-gara tersumbat dan tidak mengalir sehingga tumbuh subur jentik-jentik kebodohan, kekecewaan, kecurigaan, kecemburan, kebenciaan, ketidakadilan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Kemen PPPA: Anak Pelaku Terorisme Korban dan Harus Dibina
Meskipun bukan satu-satunya cara, kerukunan beragama jika berhasil terbangun maka dampaknya akan sangat efektif.
Terutama terhadap upaya melokalisasi isu-isu terorisme. Misalnya ketika terjadi peristiwa teror tidak akan mudah lagi saling menuduh dan saling memancing satu agama dengan agama lainnya.
Ataupun tidak lagi tergesa-gesa saling tunjuk satu kelompok beragama terhadap kelompok beragama lainnya dalam agama yang sama.
Di samping itu, para pelaku teror akan merasa terbatasi ruangnya jika kembali menggunakan dasar-dasar dan simbol-simbol agama dalam melancarkan aksi-aksinya. Selain karena terbentengi oleh kerukunan beragama yang kokoh, juga mereka berpotensi terkucilkan secara sosial karena tidak diakui sebagai umat atau warga beragama.
Mereka dinilai telah nyata-nyata berbuat antiagama. Perbuatan yang tidak mencerminkan ajaran agama apapun, yang subtansinya mengajarkan kedamaian dan keselamatan atau rahmatan lil’alamin.
Untuk penguatan kerukunan beragama sebagai benteng penangkal yang kokoh bagi segala infiltrasi terorisme yang mengatasnamakan agama diperlukan dialog yang tidak hanya lintas agama namun juga intern agama. Selain itu, dialog tidak hanya di tingkat elite namun juga di tingkat akar rumput.
Dialog intern agama menjadi urgen dalam penguatan kerukunan beragama mengingat selama ini, sebagaimana diutarakan sebelumnya, saling tuduh kelompok-kelompok intern agama ikut merwarnai ketika peristiwa teror terjadi. Sehingga banyak kelompok beragama yang merasa tertuduh, dan secara bersamaan banyak kelompok beragama lainnya merasa berada di atas angin.
Dalam hal ini kerukunan beragama harus banyak bercermin pada bagaimana suasana kerukunan di lingkungan Rukun Tetangga (RT) ataupun Rukun Warga (RW). Kerukunan yang melibatkan pranata keluarga ketika mereka bertetangga dan sekaligus berwarga (negara).
Bertetangga dan berwarga yang rukun itu dimulai dari kerukunan yang dipraktikan terlebih dahulu di internal masing-masing keluarga. Jika internal masing-masing keluarga rukun maka lingkungan RT cenderung rukun pula.
Sebaliknya, jika internal satu keluarga atau beberapa keluarga sering ribut dan tertutup maka lingkungan RT biasanya disharmoni karena terbawa suasana ketidakberesan satu atau beberapa keluarga.
Maka, memperbaiki kerukunan internal keluarga menjadi kunci pokok terbangunnya lingkungan rukun tetangga yang harmoni. Demikian juga, dalam konteks rukun beragama, memperbaiki terlebih dahulu kerukunan internal masing-masing agama bisa menjadi kunci utama bagi terbangunnya kerukunan beragama yang bermutu, bukan kerukunan semu apalagi palsu.
Setelah semua keluarga dari anggota ke-RT-an benar-benar rukun maka mereka biasanya bisa saling menebarkan kerukunan. Dan, praktik menebar kerukunannya itu tidak hanya didominasi oleh para kepala keluarga, tetapi juga oleh anggota keluarga lainnya, seperti antara emak-emak ataupun antara anak-anak.
Bahkan ketika antara kepala keluarganya kurang rukun, tetapi antara emak-emak ataupun antara anak-akanknya sangat rukun, maka antara keluarga yang bertetangga itu menjadi rukun. Demikian juga sebaliknya.
Analogi ini menjelaskan bahwa penguatan kerukunan beragama itu bukan hanya domainnya para pimpinan ormas atau tokoh agama, tetapi juga arena semua unsur pemeluk agama.
Di sinilah negara hadir untuk memfasilitasi penguatan kerukunan beragama yang bermutu di setiap lapisan umat. Dengan itu, segala terorisme di atas bumi Indonesia bisa segera dihapuskan karena memang selain benar-benar tidak sesuai dengan peri kemanusiaan, juga tidak sesuai dengan peri ketuhanan. Wallahu’alam bi shawab.