JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo buka suara untuk menanggapi isu masa jabatan presiden menjadi tiga periode yang muncul lewat pernyataan mantan Ketua MPR Amien Rais.
Dalam pernyataannya, Jokowi mengatakan ia tak berminat menjabat presiden selama tiga periode. Ia pun meyakinkan masyarakat bahwa ia tunduk patuh kepada amanat UUD 1945 yang mengatakan masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode.
"Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Wacana Masa Jabatan Presiden Tiga Periode Dikhawatirkan Jadi Agenda Sisipan
Jokowi menyebut telah berulang kali menyampaikan penolakan terhadap usulan perpanjangan masa jabatan presiden.
Sikap ini, kata dia, tidak akan pernah berubah. Sebagaimana bunyi konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945, masa jabatan presiden dibatasi sebanyak dua periode. "Itu yang harus kita jaga bersama-sama," ujar Jokowi.
Jokowi pun meminta agar tak ada yang membuat kegaduhan baru atas isu ini. Sebab, ia menuturkan, pemerintah tengah fokus pada penanganan pandemi virus corona.
"Janganlah membuat kegaduhan baru. Kita saat ini tengah fokus pada penanganan pandemi," katanya.
Kendati demikian Jokowi sama sekali tak menyinggung aksi anak buahnya, yakni Kepala Staf Presiden (Moeldoko) yang tengah berupaya menguasai Partai Demokrat.
Baca juga: Wacana Masa Jabatan Presiden 3 Periode, Pengamat: Lebih Penting Regenerasi Kepemimpinan Nasional
Padahal sedianya isu jabatan presiden tiga periode muncul seiring dengan upaya Moeldoko menguasai Partai Demokrat.
Wartawan asing yang lama meliput isu-isu politik Indonesia, John McBeth, dalam analisisnya seperti dikutip dari Asia Times pada 9 Maret, menyatakan bahwa manuver yang dilakukan Moeldoko memang memunculkan adanya motif bahwa mantan Panglima TNI itu menggunakan Demokrat sebagai kendaraan politiknya di Pilpres 2024.
Namun, menurut McBeth, manuver Moeldoko tak hanya menimbulkan syak wasangka bahwa Moeldoko hendak menggunakan Demokrat sebagai kendaraan politiknya di Pilpres 2024.
McBeth menyatakan, motif lain juga bermunculan dari dualisme di Demokrat yang dilakukan Moeldoko dengan menggusur AHY yang notabenenya merupakan trah penerus pendiri partai, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga pernah menjabat sebagai Presiden RI keenam.
Munculnya dugaan motif lain itu dilandasi atas argumen bahwa Moeldoko hingga kini belum pernah masuk dalam bursa calon presiden 2024 dalam berbagai survei. Hal itu menunjukkan minimnya elektabilitas Moeldoko.
Baca juga: Isu Masa Jabatan Presiden 3 Periode, Jokowi: Jangan Buat Kegaduhan Baru
Karena itu McBeth mengatakan bisa saja motif lain yang muncul dari aksi Moeldoko merebut Demokrat ialah upaya pemerintah yang hendak menguasai suara di DPR.
Dengan dipimpin Moeldoko, Demokrat serta-merta menjadi anggota koalisi pemerintah dan siap digunakan untuk mendukung segala kebijakan pemerintah.
Menurut McBeth hal itu akan dibutuhkan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengejar ambisi politiknya lewat berbagai proyek infrastruktur yang dipercaya bakal menjadi daya ungkit perekenomian Indonesia ke depan.
McBeth menuturkan motif selanjutya bisa saja upaya penguasaan Demokrat digunakan untuk mengamankan tujuan amendemen UUD 1945 yang di antaranya pernah diwacanakan untuk mengembalikan GBHN di dalamnya sebagai arah pembangunan nasional.
Kemudian, menurut McBeth, manuver yang dilakukan Moeldoko juga bisa dimaknai bertujuan untuk mengendalikan Demokrat guna menyetujui wacana tiga periode masa jabatan presiden agar Jokowi bisa tetap menjabat pada periode 2024-2029.
Baca juga: Dualisme Demokrat, dari Motif Pencapresan Moeldoko hingga Wacana Tiga Periode Jokowi
"Sejumlah pengamat menyatakan adanya skenario yang memberikan peluang bagi Jokowi untuk memperpanjang masa jabatannya hingga periode ketiga. Adapun dalam konstitusi sekarang, masa jabatan presiden dibatasi hingga dua periode," tutur wartawan asal Selandia Baru itu dalam analisisnya di Asia Times.
Menurut McBeth, motif-motif tersebut bermunculan secara liar lantaran Presiden Jokowi tak menanggapi langsung aksi anak buahnya yang berupaya menyingkirkan trah SBY yang selama ini menjadi identitas Partai Demokrat.
Presiden Jokowi belum mengeluarkan sepatah kata pun dalam menyikapi manuver Moeldoko yang telah membuat jagat politik nasional menjadi ramai.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Ia menduga Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko hanya tumbal dalam upaya pembelahan Partai Demokrat.
Menurut dia, sangat aneh jika Moeldoko bersikap sembrono hendak maju di Pilpres 2024 namun dengan cara membajak partai lain.
Baca juga: Pengamat Duga Moeldoko Hanya Tumbal, Ada Agenda Politik Tersembunyi lewat Pembajakan Demokrat
Pasalnya hal itu akan meninggalkan citra negatif bagi Moeldoko dan hal itu tentunya tak baik bagi mantan Panglima TNI itu jika hendak menjadi calon presiden di pemilu mendatang.
“Jika pengambilalihan secara paksa Partai Demokrat adalah ambisi pribadi Moeldoko yang katanya ingin maju sebagai calon presiden 2024, maka tindakan ini adalah kebodohan dan bunuh diri,” kata Pangi.
Pangi menuturkan langkah politik yang dilakukan Moeldoko dengan membajak Demokrat memang seolah membuka jalan bagi ambisinya.
Namun secara bersamaan, citra negatif juga mencoreng muka Moeldoko lantaran dianggap telah melakukan tindakan yang tidak bermoral serta membahayakan demokrasi.
Karena itu, Pangi mengatakan, publik harus mempertanyakan motif sesungguhya Moeldoko membajak Partai Demokrat.
Baca juga: Bantahan Jokowi soal Jabatan Tiga Periode dan Peringatan kepada Amien Rais
Ia menilai sangat mungkin ada agenda politik tersembunyi dengan menjadikan Moeldoko sebagai pion untuk membajak Demokrat. Terlebih, kata Pangi, Moeldoko merepresentasikan diri sebagai pejabat di lingkaran Istana Kepresidenan.
Selain itu, kata Pangi, hingga kini Presiden Jokowi belum bersuara sedikitpun untuk menegur Moeldoko selaku anak buahnya yang telah mencoreng nama baik Istana.
Hal itu menurut Pangi semakin membuat Publik berspekulasi bahwa Moeldoko mendapat restu dari Istana untuk membajak Partai Demokrat.
Padahal menurut Pangi, Presiden semestinya berbicara langsung untuk mengakhiri spekylasi liar yang bermunculan akibat aksi Moeldoko membajak Demokrat.
“Oleh karena itu, kita juga layak bertanya dan patut curiga agenda apa yang sedang didesain. Apapun agendanya kita layak curiga karena cara-cara culas sudah pasti tujuannya akan merugikan kita semua,” ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.