Selain itu, pendidikan Pancasila pun, yang juga tersurat di Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), awalnya sempat dinamai PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), belakangan kata Pancasila dihapus.
Makin lengkap sudah kata Pancasila dilenyapkan dari lingkungan sekolah dari tingkat SD-SMP-SMA-PT.
Proses kelulusan siswa pun tidak lagi memasukkan indikator PKn misalnya, sebagai mata pelajaran yang akan dilihat untuk kelulusan seorang siswa, alias tidak lagi diujikan.
Nampaknya trauma terhadap Orde Baru yang menyelewengkan istilah demokrasi Pancasila untuk kepentingan diri keluarga cendana dan kroni-kroninya sungguh sudah merasuk di sanubari bangsa ini hingga secara perlahan Pancasila pun mulai dilupakan dengan sistematis.
Inilah yang menjadi salah satu pemutus generasi Y, Z, dan Alfa ini semakin tidak mengenali Pancasila.
Di tengah ancaman terorisme yang masih menghantui bangsa ini, maka tidak mudah membumikan Pancasila pada publik sekiranya tidak diiringi political will yang kuat dari seluruh komponen bangsa, terlebih dari pemerintah.
Pada 4 Februari 2021 misalnya, Densus 88 Antiteror Polri memindahkan 26 tersangka aksi terorisme di Indonesia. Para terduga teroris ini ditangkap di awal 2021, tujuh dari Gorontalo dan 19 dari Makassar, tiga di antaranya adalah perempuan.
Kasus terbaru misalnya, tidak kurang dari 22 orang terduga teroris ditangkap di Jawa Timur; Surabaya, Malang, Mojokerto, dan Sidoarjo (3/3/2021). Kelompok ini dari hasil pendalaman kelompok terorisme ini memiliki keterkaitan dengan jaringan Upik Lawanga yang ditangkap Tim Densus 88 Antiteror pada 23 November 2020 di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Sudah merata dari wilayah di Indonesia Barat hingga ke Indonesia bagian timur, terdapat jaringan teroris yang masih beraktivitas. Mereka tentu saja sangat anti terhadap Pancasila karena dianggap sebagai thaghut, setan.
Selain itu, tentu saja menyeruaknya kasus-kasus korupsi di kalangan elit eksekutif pemerintah daerah maupun kementerian sangat memukul publik atas kepercayaannya terhadap Pancasila.
Setidaknya sejak Presiden Jokowi menjabat tujuh tahun silam, terdapat 72 kepala daerah yang terjerat korupsi; gubernur 9 orang setara 26,5 persen dari 34 provinsi, bupati 50 orang setara 12 persen dari 416 kabupaten, dan walikota 13 orang, setara 13,2 persen dari 98 kotamadya.
Padahal, seyogianya para kepala daerah yang menegakkan Pancasila dan memberikan teladannya mengenai bagaimana praktik Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tak luput pula beberapa kepala daerah maupun aparat keamanan yang membiarkan sikap-sikap diskriminatif warganya yang melarang ibadah komunitas agama tertentu, atau melarang penggunanaan tempat ibadah dengan dalih tidak memiliki IMB dan sebagainya.
Seringkali aksi-aksi kelompok intoleran ini direstui oleh kepada daerah atau mereka mendiamkan saja warganya dipersekusi oleh warga yang jumlahnya mendominasi secara latar belakang agama maupun keyakinan.
Absennya Pancasila yang cukup lama dalam ruang publik pasca reformasi 1998 ini sungguh mencemaskan kebangsaan kita.