Salin Artikel

Mendesak Kontekstualisasi Pancasila

PANCASILA sebagai dasar dan ideologi negara telah lama absen dalam diskursus masyarakat umum. Sekiranya dalam diskursus saja terlewat, maka jauh panggang dari api rasanya jika berharap ia dipraktikkan secara konsisten oleh tiap-tiap warga negara dari Merauke hingga Sabang. Pernyataan ini bukan isapan jempol belaka, mengacu pada hasil riset dari beberapa lembaga terkemuka di republik ini.

Pada 2017 lalu, Center for Strategic and International Studies (CSIS), melakukan survei mengenai Pancasila, yang hasilnya tidak sedikit masyarakat yang menghendaki ideologi lain bagi Indonesia. Sekurang-kurangnya, 10 persen milenial menyetujui jika Pancasila diganti oleh ideologi lain.

Riset lain dilakukan juga oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI), yang menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang pro Pancasila semakin menurun. Dalam survei LSI tersebut dijelaskan, pada 2005 publik yang pro Pancasila masih mencapai 85,2 persen.

Lima tahun kemudian, pada 2010, prosentasenya turun tinggal 81,7 persen. Lalu pada 2015, turun kembali menjadi 79,4 persen. Sementara di survei 2018, angkanya semakin mengecil tinggal 75,3 persen masyarakat yang pro Pancasila. Penurunan jumlah hingga 10 persen tentu tidak boleh dianggap sepele, apalagi diabaikan begitu saja.

Berikutnya survei dari Alvara Research Center yang hasilnya mendapatkan, 19,4 persen PNS tidak setuju Pancasila. Survei Alvara ini dilakukan pada 10 September sampai 5 Oktober 2017 di 6 kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Sebuah hasil yang sangat mencengangkan, mengingat PNS hidup dari gaji rakyat yang berasal dari latar belakang bermacam-macam, dan semestinya di pundak PNS lah Pancasila dapat ditegakkan dan dijaga secara terus-menerus.

Survei mutakhir dilakukan oleh Komunitas Muda Pancasila, “komunitas anak muda milenial yang peduli terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara mengamalkan nilai nilai Pancasila”, muncul sejak 2018 lalu.

Mereka menyatakan telah memiliki 400 anggota dari alumni Sekolah Pancasila Muda. Pada Mei 2020 lalu, komunitas ini melakukan survei mengenai Pancasila, dengan sasaran usia 18-25, yang aktif menggunakan instagram dan facebook, baik yang tinggal di kota besar maupun di kawasan rural di 34 provinsi.

Hasilnya hanya 61 persen yang masih yakin dan setuju bahwa Pancasila sangat penting dan relevan. Sementara 19,5 persen menganggap netral atau biasa saja terhadap Pancasila. Sedangkan 19,5 persen lainnya merasa Pancasila tidak lagi dianggap penting atau relevan bagi kehidupan mereka.

Temuan survei dari Komunitas Muda Pancasila ini senada dengan survei LSI pada 2018 di atas. Sungguh merupakan PR yang amat besar untuk dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap Pancasila, terlebih di kalangan Gen Y (lahir 1981-1996) sebesar 25,87 persen, Gen Z (1997-2012) sejumlah 27,94, dan Generasi Alfa (2013- dst) sejumlah 10,88 persen, yang sekarang mulai memasuki usia SD.

Padahal, berdasarkan hasil sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada September 2020 lalu, jumlah tiga generasi ini mencapai 64,69 persen, artinya separuh lebih dari total populasi Indonesia saat ini yaitu 270,20 juta jiwa.

Mengapa Pancasila tidak dikenali publik?

Ada banyak argumentasi mengapa Pancasila tidak lagi menghiasi ruang publik kita. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI, dalam disertasinya misalnya menyatakan “terjadi kekosongan pembinaan Pancasila selama 20 tahun sejak masa reformasi pada 1998.”

Baru di era Presiden Jokowi, itupun tahun ketiga, dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Pada 2018 lalu, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) yang menaikkan statusnya menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP), hingga saat ini.

Sementara dari banyak survei diketahui bahwa Pancasila tidak lagi diajarkan secara tersendiri di sekolah, burung Garuda sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebatas tertempel dengan rapi di dinding-dinding kelas maupun perkantoran pemerintah namun miskin implementasi, pun sekadar seremonial.

Artinya “wajar” sekiranya publik kita mulai amnesia terhadap Pancasila. Andaikata para pendiri bangsa masih hidup, hemat saya para pahlawan ini akan menangis menyaksikan secara kasat mata masyarakatnya, terlebih sebagian pengelola negeri sudah mulai mengabaikan Pancasila yang sudah menjadi konsensus nasional sebagai dasar dan ideologi negara, sebagaimana tergambar dengan gamblang dari survei terhadap PNS mengenai sikap dan pendapat mereka kepada Pancasila di atas.

Selain itu, pendidikan Pancasila pun, yang juga tersurat di Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), awalnya sempat dinamai PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), belakangan kata Pancasila dihapus.

Makin lengkap sudah kata Pancasila dilenyapkan dari lingkungan sekolah dari tingkat SD-SMP-SMA-PT.

Proses kelulusan siswa pun tidak lagi memasukkan indikator PKn misalnya, sebagai mata pelajaran yang akan dilihat untuk kelulusan seorang siswa, alias tidak lagi diujikan.

Nampaknya trauma terhadap Orde Baru yang menyelewengkan istilah demokrasi Pancasila untuk kepentingan diri keluarga cendana dan kroni-kroninya sungguh sudah merasuk di sanubari bangsa ini hingga secara perlahan Pancasila pun mulai dilupakan dengan sistematis.

Inilah yang menjadi salah satu pemutus generasi Y, Z, dan Alfa ini semakin tidak mengenali Pancasila.

Tantangan aktualisasi Pancasila

Di tengah ancaman terorisme yang masih menghantui bangsa ini, maka tidak mudah membumikan Pancasila pada publik sekiranya tidak diiringi political will yang kuat dari seluruh komponen bangsa, terlebih dari pemerintah.

Pada 4 Februari 2021 misalnya, Densus 88 Antiteror Polri memindahkan 26 tersangka aksi terorisme di Indonesia. Para terduga teroris ini ditangkap di awal 2021, tujuh dari Gorontalo dan 19 dari Makassar, tiga di antaranya adalah perempuan.

Kasus terbaru misalnya, tidak kurang dari 22 orang terduga teroris ditangkap di Jawa Timur; Surabaya, Malang, Mojokerto, dan Sidoarjo (3/3/2021). Kelompok ini dari hasil pendalaman kelompok terorisme ini memiliki keterkaitan dengan jaringan Upik Lawanga yang ditangkap Tim Densus 88 Antiteror pada 23 November 2020 di Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung.

Sudah merata dari wilayah di Indonesia Barat hingga ke Indonesia bagian timur, terdapat jaringan teroris yang masih beraktivitas. Mereka tentu saja sangat anti terhadap Pancasila karena dianggap sebagai thaghut, setan.

Selain itu, tentu saja menyeruaknya kasus-kasus korupsi di kalangan elit eksekutif pemerintah daerah maupun kementerian sangat memukul publik atas kepercayaannya terhadap Pancasila.

Setidaknya sejak Presiden Jokowi menjabat tujuh tahun silam, terdapat 72 kepala daerah yang terjerat korupsi; gubernur 9 orang setara 26,5 persen dari 34 provinsi, bupati 50 orang setara 12 persen dari 416 kabupaten, dan walikota 13 orang, setara 13,2 persen dari 98 kotamadya.

Padahal, seyogianya para kepala daerah yang menegakkan Pancasila dan memberikan teladannya mengenai bagaimana praktik Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tak luput pula beberapa kepala daerah maupun aparat keamanan yang membiarkan sikap-sikap diskriminatif warganya yang melarang ibadah komunitas agama tertentu, atau melarang penggunanaan tempat ibadah dengan dalih tidak memiliki IMB dan sebagainya.

Seringkali aksi-aksi kelompok intoleran ini direstui oleh kepada daerah atau mereka mendiamkan saja warganya dipersekusi oleh warga yang jumlahnya mendominasi secara latar belakang agama maupun keyakinan.

Peluang hadirnya Pancasila

Absennya Pancasila yang cukup lama dalam ruang publik pasca reformasi 1998 ini sungguh mencemaskan kebangsaan kita.

Nilai-nilai luhur ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi atau mufakat, dan keadilan sosial, di dalam Pancasila yang menjadi pengikat dan pedoman bagi bangsa; pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia harus hadir kembali.

Layaknya sebuah tanaman, jika ia tidak dirawat; diberi pupuk, disiangi, diairi- maka lambat laun akan layu dan akhirnya mati.

Demikian pula dengan Pancasila, sebagai temuan orisinal dari para pendiri bangsa maka sudah seharusnya generasi hari ini dan seterusnya menjaga dan merawat dengan sungguh-sungguh.

Telah muncul banyak sumbang saran dari para pemikir, akademisi, pegiat, influencer, dan ormas-ormas keagamaan dan kepemudaan juga dari beragam komunitas yang ada mengenai bagaimana semestinya Pancasila disosialisasikan sesuai dengan semangat zaman.

Di era digital penggunaan media sosial, aplikasi, dan beragam metode baru dapat digunakan, tinggal disesuaikan dengan target sasaran.

Keberadaan BPIP, seyogyanya dapat dimaksimalkan untuk pembinaan Pancasila di berbagai level pemerintahan dan masyarakat secara masif dan terstruktur.

Begitu pula, sosialisasi Pancasila dalam dunia pendidikan, dari tingkat PAUD hingga perguruan tinggi pun memiliki karakter tersendiri pada saat dilakukan kepada seluruh peserta didik ataupun mahasiswa.

Di era digital ini jangan sampai Pancasila semakin kehilangan elan vitalnya. Optimisme sudah terlihat dari sikap Muhammadiyah dan NU yang dengan terang benderang menyatakan Pancasila telah final sebagai dasar dan ideologi negara. Begitu pula dukungan tak kalah tegas dari ormas-ormas keagamaan dan kepemudaan.

Di kalangan influencer sebagai micro selebritis di media sosial pun sangat mendukung Pancasila untuk dijadikan panduan dalam bermedia sosial maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Jangan sampai bangsa ini kehilangan arah, apalagi bingung dengan ideologi negaranya akibat tidak ada langkah konkrit dari pemerintah dengan sosialisasi masif tentang Pancasila dengan metode dan cara-cara kreatif.

Rakyat akan selalu mendukung pemerintah sepanjang menegakkan dan mengelola negara demi kesejahteraan bersama sesuai sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Semoga.

https://nasional.kompas.com/read/2021/03/05/17025491/mendesak-kontekstualisasi-pancasila

Terkini Lainnya

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Tok! Kasasi KPK Kabul, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Penetapan Prabowo di KPU: Mesra dengan Anies hingga Malu-malu Titiek Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke