Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Mobokrasi, Demokrasi AS yang Kebablasan

Kompas.com - 13/01/2021, 21:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Muller kemudian menjelaskan, “Populisme adalah imajinasi politik moralistik tertentu, cara memandang dunia politik yang menetapkan murni secara moral dan sepenuhnya bersatu — tetap pada akhirnya fiktif — orang-orang melawan elite yang dianggap korup atau dengan cara lain lebih rendah secara moral. Ini adalah klaim inti dari populisme: hanya beberapa dari mereka yang benar-benar rakyat.” (hlm 19-21).

Pernyataan Muller seakan menegaskan kembali tulisan Fareed Zakaria dalam Foreign Affairs (2017) bahwa, "Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang 'biasa' yang terlupakan dan sering membayangkan dirinya sebagai suara patriotisme sejati.”

Jadi, dengan jiwa populisme, kaum elite di AS telah menggiring sistem politik AS untuk beroperasi di sebuah arena di mana kebenaran adalah sesuatu yang semu. Sebab, realitas objektif tidak lagi berpatok pada kepentingan rakyat banyak, tapi disesuaikan dengan rancangan kepentingan orang-orang yang berkuasa, dan pencari keuntungan komersial.

Mengganggu Keharmonisan Hidup

Mobokrasi, khususnya aksi brutal massa di gedung Capitol telah mengancam keselamatan anggota Konggres AS yang hendak bersidang sehingga mereka harus dievakuasi.

Dalam konteks lebih luas, insiden tersebut mencemaskan banyak warga AS karena dapat memicu konflik horizontal yang mengganggu keharmonisan hidup berbangsa dan keutuhan bernegara AS.

Kecemasan itu terpancar nyata dalam tulisan resensi Jake Jacobs atas bukunya Mobocracy (2012).

Jacobs menulis begini:

“Bangunkan Amerika, sebelum terlambat! Mobokrat itu bisnis kotor, mengerahkan massa untuk melakukan anarki. Oleh karena itu, dengarkan kata-kata mereka! Perhatikan dan pahami tuntutan mereka. Mereka ingin meruntuhkan dan mengubah (partai) Republik kita yang didirikan dalam nama Tuhan.

Pendiri bangsa kita telah memperingatkan kita semua bahwa jika kita ingin mempertahankan Republik kita, kita harus selalu gigih berjuang demi kebebasan dan bersikap waspada terhadap mereka yang akan menghancurkan kehidupan demokrasi dengan kedok kebebasan.

Ingat saudaraku. Amerika sedang diserang. Institusi dan nilai-nilainya diserang setiap hari. Tapi pelaku utamanya bukanlah teroris asing. Mereka adalah orang Amerika sendiri yang sangat kuat dan berpengaruh. Mereka secara diam-diam memicu perpecahan dan ketidaksetiaan dalam bayang-bayang partai politik.

Baca buku ini! Berdoalah untuk negara kita. Ajari anak-anak Anda tentang prinsip-prinsip Alkitabiah yang telah diimani dan dihayati dengan setia oleh para pendiri bangsa ini. Dukunglah pria dan wanita yang bersedia mengesampingkan segala sesuatu untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat banyak.”

Sebuah Pelajaran bagi Indonesia

Fenomena mobokrasi di AS memang ambigu. Melalui buku Mobocary, Jake Jacobs tampaknya menuding partai Demokrat sebagai biang keladi mobkrasi di AS. Tapi, dari insiden 6 Januari 2021, yang tampak bagi kita justru partai Republik adalah dalangnya.

Walau bersifat ambigu demikian, mobokrasi yang tercermin lewat aksi brutal massa pendukung Presiden Trump tersebut, tentu saja harus dimaknai sebagai sebuah pelajaran berharga bagi bangsa kita juga.

Sebagai bangsa yang baru bertumbuh dalam berdemokrasi, kita berharap iklim berdemokrasi tetap kondusif. Kita tentu saja, tidak menginginkan mobokrasi atau aksi brutal sekolompok massa yang mengganggu ketertiban, kemanan dan keharmonisan hidup, tidak terjadi di Tanah Air kita.

Memang, dalam era infomasi digital sekarang, hampir mustahil kita mencegah publikasi atau berita tentang mobokrasi di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai warga bangsa, kita hendaknya saling mengigatkan supaya tidak ada anak bangsa yang mau menirunya secara membabi buta.

Sebaliknya, menurut penulis, apa yang terjadi di AS itu harusnya menambah rasa percaya diri kita sebagai bangsa Indonesia. Bahwa sejauh ini kita sudah berada di jalan demokrasi yang benar.

Contoh, dalam Pilpres 2019 lalu, kita memang memiliki pilihan yang berbeda dan bersaing satu sama lain. Namun, dengan ideologi Pancasila dan semboyan Bhineka Tinggal Ika, kita telah mampu menyelesaikan ajang kompetisi itu dengan sikap demokratis yang elegan.

Yang kalah bersikap legowo, dan yang menang tidak jumawa. Semoga, sikap demokratis demikian terus dipelihara dan ditumbuhkembangkan sehingga bisa menjadi contoh bagi , negara-negara lain di dunia, termasuk AS sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com