SEBAGAIMANA dilansir berbagai media massa dan media sosial, Rabu 6 Januari 2021, puluhan ribu massa pendukung Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, berusaha menduduki gedung Capitol (Kantor Konggres AS) di Washington DC.
Kelompok massa itu bermaksud mencegah Konggres melakukan pengesahan atas John Biden dan Karmala Harris, sebagai presiden dan wakil presiden AS periode 2021-2024.
Berita tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Namun, mengikuti jalannya pemilu presiden AS Oktober lalu yang penuh hujatan, saling tuding dan hasutan, warga dunia sebetulnya dapat menilai bahwa demokrasi AS sudah kebablasan sehingga mudah tergelincir ke suatu kondisi yang disebut ‘ mobokrasi’.
Baca juga: Jelang Pelantikan Biden, Ekstremis Pendukung Trump Dilaporkan Bakal Kepung Gedung Capitol
Filsuf politik asal Inggris, John Stuart Mill (1806 – 1873) menyatakan, demokrasi adalah rakyat yang berdaulat. Mill menegaskan bahwa demokratis adalah cara hidup, sikap moral, dan petualangan humanistik.
Dalam demokrasi rakyat, melalui para pemimpin yang dipilihnya, melembagakan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, tak terkecuali hak politik kaum minoritas.
Secara definisi, demokrasi bertolak belakang dengan mobokrasi, yaitu sistem politik di mana sekelompok massa rakyat berupaya mengendalikan politik atau pemerintahan. (Bdk. American Heritage Dictionary, 2016).
Dalam demokrasi, warga negara dilibatkan secara langsung atau tidak langsung melalui perwakilan terpilih, sedangkan dalam mobokrasi tidak ada representasi publik..
Dalam demokrasi, cita-cita luhur dan ideologi negara dijaga, dan konstitusi ditaati, Sebaliknya, dalam mobokrasi, cita-cita dan ideologi bangsa dinafikan, dan konstitusi negara dikangkangi.
Baca juga: Politisi Partai Republik Mulai Berbalik Hendak Memakzulkan Trump
Sekalipun saling bertentangan, demokrasi mudah tergelincir menjadi mobokrasi. Tentang ini Persiden kedua AS, John Adams pernah berkata, "Demokrasi akan segera menjadi anarki, ketika konstitusi dipandang sebagai bangkai, dan tidak ada orang terhormat yang tampil sebagai negarawan yang demokrat.”
Banyak pengamat politik internasional menilai, insiden pada 6 Januari 2021 itu adalah indikasi kemunduran demokrasi AS. Pasalnya, aksi brutal massa justru terjadi di gedung Konggres yang adalah simbol demokrasi AS sendiri.
Lebih daripada itu, insiden tersebut, justru dipicu oleh sikap Presiden AS sendiri, yang tidak move on dari kekalahannya dalam pemilu Oktober 2020 lalu.
Tapi, sebab utama dari kemunduran demokrasi AS bukanlah pemilu. Akar terdalamnya adalah sikap dan kebijakan politik para elite politik AS sendiri.
Disinyalir, belakangan ini, para elite politik AS cenderung korup dan hipokrit. Contohnya adalah Presiden Trump sendiri.
Sejak masa kampanye hingga duduk di tampuk kepresiden AS (21Januari -21 Januari 2021), Trump gemar mengobarkan api populisme dan nasionalisme secara berlebihan dengan slogan, “Make America Great Again’, "America First", atau "Keep America Great!”.
Jan-Werner Muller, dalam bukunya: What is Populism? (2016) menyatakan, “Bahaya bagi demokrasi saat ini bukanlah ideologi komprehensif yang secara sistematis mengingkari cita-cita demokrasi. Bahayanya adalah populisme, yaitu bentuk demokrasi yang terdegradasi oleh janji palsu mewujudkan cita-cita tertinggi demokrasi.” (hal 6).
Baca juga: Donald Trump Tolak Bertanggung Jawab dalam Penyerbuan Gedung Capitol
Muller kemudian menjelaskan, “Populisme adalah imajinasi politik moralistik tertentu, cara memandang dunia politik yang menetapkan murni secara moral dan sepenuhnya bersatu — tetap pada akhirnya fiktif — orang-orang melawan elite yang dianggap korup atau dengan cara lain lebih rendah secara moral. Ini adalah klaim inti dari populisme: hanya beberapa dari mereka yang benar-benar rakyat.” (hlm 19-21).
Pernyataan Muller seakan menegaskan kembali tulisan Fareed Zakaria dalam Foreign Affairs (2017) bahwa, "Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang 'biasa' yang terlupakan dan sering membayangkan dirinya sebagai suara patriotisme sejati.”
Jadi, dengan jiwa populisme, kaum elite di AS telah menggiring sistem politik AS untuk beroperasi di sebuah arena di mana kebenaran adalah sesuatu yang semu. Sebab, realitas objektif tidak lagi berpatok pada kepentingan rakyat banyak, tapi disesuaikan dengan rancangan kepentingan orang-orang yang berkuasa, dan pencari keuntungan komersial.
Mobokrasi, khususnya aksi brutal massa di gedung Capitol telah mengancam keselamatan anggota Konggres AS yang hendak bersidang sehingga mereka harus dievakuasi.
Dalam konteks lebih luas, insiden tersebut mencemaskan banyak warga AS karena dapat memicu konflik horizontal yang mengganggu keharmonisan hidup berbangsa dan keutuhan bernegara AS.
Kecemasan itu terpancar nyata dalam tulisan resensi Jake Jacobs atas bukunya Mobocracy (2012).
Jacobs menulis begini:
“Bangunkan Amerika, sebelum terlambat! Mobokrat itu bisnis kotor, mengerahkan massa untuk melakukan anarki. Oleh karena itu, dengarkan kata-kata mereka! Perhatikan dan pahami tuntutan mereka. Mereka ingin meruntuhkan dan mengubah (partai) Republik kita yang didirikan dalam nama Tuhan.
Pendiri bangsa kita telah memperingatkan kita semua bahwa jika kita ingin mempertahankan Republik kita, kita harus selalu gigih berjuang demi kebebasan dan bersikap waspada terhadap mereka yang akan menghancurkan kehidupan demokrasi dengan kedok kebebasan.
Ingat saudaraku. Amerika sedang diserang. Institusi dan nilai-nilainya diserang setiap hari. Tapi pelaku utamanya bukanlah teroris asing. Mereka adalah orang Amerika sendiri yang sangat kuat dan berpengaruh. Mereka secara diam-diam memicu perpecahan dan ketidaksetiaan dalam bayang-bayang partai politik.
Baca buku ini! Berdoalah untuk negara kita. Ajari anak-anak Anda tentang prinsip-prinsip Alkitabiah yang telah diimani dan dihayati dengan setia oleh para pendiri bangsa ini. Dukunglah pria dan wanita yang bersedia mengesampingkan segala sesuatu untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi rakyat banyak.”
Fenomena mobokrasi di AS memang ambigu. Melalui buku Mobocary, Jake Jacobs tampaknya menuding partai Demokrat sebagai biang keladi mobkrasi di AS. Tapi, dari insiden 6 Januari 2021, yang tampak bagi kita justru partai Republik adalah dalangnya.
Walau bersifat ambigu demikian, mobokrasi yang tercermin lewat aksi brutal massa pendukung Presiden Trump tersebut, tentu saja harus dimaknai sebagai sebuah pelajaran berharga bagi bangsa kita juga.
Sebagai bangsa yang baru bertumbuh dalam berdemokrasi, kita berharap iklim berdemokrasi tetap kondusif. Kita tentu saja, tidak menginginkan mobokrasi atau aksi brutal sekolompok massa yang mengganggu ketertiban, kemanan dan keharmonisan hidup, tidak terjadi di Tanah Air kita.
Memang, dalam era infomasi digital sekarang, hampir mustahil kita mencegah publikasi atau berita tentang mobokrasi di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai warga bangsa, kita hendaknya saling mengigatkan supaya tidak ada anak bangsa yang mau menirunya secara membabi buta.
Sebaliknya, menurut penulis, apa yang terjadi di AS itu harusnya menambah rasa percaya diri kita sebagai bangsa Indonesia. Bahwa sejauh ini kita sudah berada di jalan demokrasi yang benar.
Contoh, dalam Pilpres 2019 lalu, kita memang memiliki pilihan yang berbeda dan bersaing satu sama lain. Namun, dengan ideologi Pancasila dan semboyan Bhineka Tinggal Ika, kita telah mampu menyelesaikan ajang kompetisi itu dengan sikap demokratis yang elegan.
Yang kalah bersikap legowo, dan yang menang tidak jumawa. Semoga, sikap demokratis demikian terus dipelihara dan ditumbuhkembangkan sehingga bisa menjadi contoh bagi , negara-negara lain di dunia, termasuk AS sendiri.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan