Ia menambahkan, Program Kartu Prakerja harus menjadi bagian dari life-long learning. Oleh karena itu, harus ada upskilling dan reskilling pekerja secara berkala lewat Program Kartu Prakerja.
Pemerintah juga tak boleh menutup mata bahwa 80 persen penerima Kartu Prakerja adalah orang-orang yang berpendidikan SMA ke atas.
Oleh karenanya, materi yang ditawarkan sebaiknya sesuai dengan segmen pekerja tersebut yang memang membutuhkan skill lebih tinggi. Tak boleh dilupakan, segmen tersebut hanya sekitar 10 persen dari total tenaga kerja Indonesia.
Artinya, pemerintah perlu menyiapkan program lain untuk menyasar pekerja yang berpendidikan rendah. Misalnya, program kejar paket yang berfungsi meningkatkan pengetahuan dasar.
“Susah kalau pemerintah hanya mengandalkan Program Kartu Prakerja untuk menyelesaikan seluruh persoalan keterampilan tenaga kerja kita, karena memang basic skill masih rendah,” tutur Yose.
Baca juga: Menko Airlangga Berharap Kisah Sukses Penerima Kartu Prakerja Menginspirasi Anak Muda
Untuk itu, pemerintah perlu menggandeng berbagai pihak dalam menuntaskan persoalan tenaga kerja. CSIS sendiri sepakat bahwa swasta harus dilibatkan dalam mendongkrak kualitas tenaga kerja Indonesia.
Dinamisnya kebutuhan pasar kerja harus segera direspon dengan keterampilan yang sesuai agar tidak terjadi lagi mismatch. Ia optimistis mitra swasta mampu memenuhi materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
“Kartu Prakerja ini bagusnya karena ada provider swasta yang memberikan jasa pelatihan. Kalau semua dipegang pemerintah, tidak akan tercapai,” papar Yose.
Ia menegaskan, Kartu Prakerja merupakan program pertama pemerintah yang melibatkan platform digital, dan menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan pelatihan tenaga kerja yang sudah ada.
Metode online juga memungkinkan jumlah peserta yang berpartisipasi mencapai sekitar 5,6 juta orang.
Baca juga: Pandemi Munculkan Banyak Pengangguran, Presiden Serikat Buruh Sebut Kartu Prakerja Jadi Solusinya
“Ini bukan suatu hal yang perlu dipertanyakan. Kasih kesempatan swasta untuk terlibat dalam program pemerintah,” ujar Yose.
Ia menyakini semakin banyak provider yang terlibat, maka semakin kompetitif materi yang ditawarkan.
Dengan begitu, biaya pelatihan yang ditawarkan tiap provider juga semakin bersaing agar bisa dipilih peserta pelatihan.
Yose pun yakin Program Kartu Prakerja dilakukan end-to-end secara digital, mulai dari pendaftaran hingga penerimaan insentif akan efektif mencegah korupsi.
“Coba kita bandingkan dengan bansos lain yang sifatnya natura. Di Kartu Prakerja ini apa yang diberikan langsung ke penerima manfaat, end-to-end dan bentuknya non-cash, tanpa perantara, tidak dalam bentuk natura,” katanya
Meski begitu Yose tak sepakat bila pemerintah harus membeli program pelatihan dari provider di muka sebelum ada kebutuhan dari penerima manfaat. Hal itu dinilai bakal memboroskan anggaran karena berpotensi tidak tepat sasaran.
Mekanisme yang ada di Prakerja dianggap cukup efisien karena pemerintah hanya membayar pelatihan yang memang dibutuhkan atau dipilih penerima manfaat Program Prakerja.
“Buat apa dibeli kalau enggak ada peminatnya dan enggak update (pelatihannya),” ungkapnya.
Selain itu, masyarakat juga perlu terlibat dalam membiayai pelatihan tenaga kerja.
“Kalau tidak dapat (Prakerja), orang bisa bayar sendiri. Perusahaan juga tidak perlu buat pelatihan khusus sendiri, tapi bisa membeli dari market place Kartu Prakerja,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.