KOMPAS.com – Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menilai Program Kartu Prakerja efektif dan relevan untuk menjawab tantangan dunia kerja masa depan.
Pasalnya materi pelatihan yang ditawarkan Kartu Prakerja sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan selalu ada pemutakhiran.
“Dengan berjalannya waktu, ada perbaikan-perbaikan yang dilakukan Program Kartu Prakerja, karena ada mekanisme pemilihan pelatihan oleh peserta lewat cara online,” kata Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, seperti dalam keterangan tertulisnya.
Meski begitu, Yose mengakui awalnya ia tidak setuju adanya penyatuan program pelatihan tenaga kerja dengan bantuan sosial.
“Kalau disatukan, takutnya keterampilan jadi tidak dapat, bansos juga tidak dapat,” ungkapnya.
Selain itu, ia merasa ada beragam program pelatihan kerja yang sulit dijalankan secara online, misalnya pelatihan menjahit dan reparasi kendaraan bermotor.
Baca juga: Menko Airlangga Klaim Program Kartu Prakerja Tahun 2020 Telah Sukses
Nyatanya, selama masa pandemi sebagian besar peserta program Kartu Prakerja justru lebih banyak memilih pelatihan yang memang sesuai disampaikan secara online.
“Pelatihan pemasaran digital dilakukan secara online bagus juga, bisa langsung praktek secara online. Lalu, pelatihan bahasa asing bisa dipelajari secara online, tidak perlu berhadap-hadapan (dengan instruktur),” paparnya.
Ia menegaskan, sejumlah materi pelatihan kerja amat baik disampaikan secara online dan mencegah penularan Covid-19. Selain itu, peserta dapat lebih interaktif dalam menjalani pelatihan.
Di samping itu, materi pelatihan online amat tinggi manfaatnya bagi peserta. Hal itu dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja terhadap penerima manfaat.
“Sebaiknya, nanti setelah pandemi berakhir perlu diperbanyak keterampilan yang membutuhkan praktek fisik,” katanya.
Yose menjelaskan persoalan ketenagakerjaan dipicu dari dua sisi, yakni lemahnya permintaan tenaga kerja di Indonesia dan juga kualitas sumber daya manusia.
Rendahnya permintaan tenaga kerja di Indonesia itu terbukti dengan 60 persen tenaga kerja Indonesia bekerja pada sektor informal. Artinya, hanya 40 persen tenaga kerja yang bisa diserap pada sektor formal.
“Untuk menciptakan lapangan pekerjaan butuh investasi. Investasi yang masuk kebanyakan di sektor yang tidak memerlukan banyak tenaga kerja, seperti sektor pertambangan dan sektor kendaraan bermotor,” ujarnya.
Sementara itu, kualitas tenaga kerja Indonesia masih jauh dari kebutuhan pasar kerja. Pasalnya, sebagian besar tenaga kerja Indonesia hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, sehingga kemampuan kognitif dan keterampilannya sangat rendah.