JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli mengajukan permohonan uji materi ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materi itu dimohonkan Rizal bersama seorang rekannya bernama Abdulrachim Kresno.
Keduanya meminta agar ambang batas presiden dihilangkan dan Mahkamah menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Adapun, Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Baca juga: Batas Maksimal dan Minimal Presidential Threshold Diusulkan Diatur dalam RUU Pemilu
"Menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petikan petitum dalam berkas permohonan yang diunggah laman MK RI.
Berdasarkan dokumen yang diunggah di laman MK, diketahui bahwa permohonan itu diregistrasi pada Jumat (4/9/2020) lalu.
Pemohon berpandangan bahwa adanya presidential threshold telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Sebab, dengan ketentuan itu, tak semua warga negara bisa mencalonkan diri sebagai presiden.
Baca juga: PDI-P Rekomendasikan Presidential Threshold Tetap 20 Persen
Pencalonan presiden hanya dapat dilakukan melalui partai politik yang punya suara besar.
Hal ini dinilai pemohon sebagai upaya partai besar untuk menghilangkan pesaing dalam Pilpres.
"Aturan presidential threshold merupakan upaya terselubung, bahkan terang-terangan, dari partai-partai besar untuk menghilangkan pesaing atau penantang dalam pemilihan presiden," bunyi petikan permohonan.
Menurut pemohon, berkaca dari Pilpres 2014 dan 2019 yang hanya terdapat dua paslon, berakibat pada polarisasi dukungan politik dalam masyarakat.
Terjadi pula politik identitas, hoaks, eksploitasi sebaran kebencian yang menjadikan masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok besar.
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II DPR Sebut Ada yang Ingin Presidential Threshold Berubah
Padahal, sejatinya pemilihan umum harus mengedepankan prinsip keadaban, sopan santun, tertib dan damai, tidak malah menimbulkan ketakutan bagi pemilih dalam menyampaikan aspirasi dan pilihan politiknya.
Oleh karena alasan-alasan ini, Rizal dan Abdulrachim meminta MK menghapus ketentuan tentang presidential threshold.
"Telah memberikan pelajaran berharga bagi pembentuk kebijakan untuk mengeliminasi/menghapus pemberlakuan presidential threshold karena telah melahirkan kegaduhan politik yang berlarut-larut dan mengancam rasa aman masyarakat," bunyi petikan permohonan.
"Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menghapus ketentuan atau syarat presidential threshold," lanjut petikan permohonan itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.