JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Rumah Cemara, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), mengajukan uji materi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA).
Para pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 52 Ayat (1) huruf i dan huruf j Perpres tersebut lantaran dinilai diskriminatif terhadap pengidap HIV-AIDS dan pengguna narkotika.
"Permohonan hak uji materiil diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) selaku kuasa hukum ketiga organisasi, pada Senin 10 Agustus 2020," kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (10/8/2020).
Baca juga: MA: Perpres Jaminan Kesehatan Tetap Berlaku, Hanya Kenaikan Iuran yang Dibatalkan
Menurut pemohon, pasal tersebut diskriminatif karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengecualikan semua layanan kesehatan bagi gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Seperti diketahui, BPJS merupakan penyelenggara program jaminan sosial, termasuk jaminan kesehatan. Akan tetapi, BPJS tidak dapat menjamin pembiayaan pengobatan semua jenis penyakit.
Pasal 26 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional sebenarnya mengamanatkan pembentukan Perpres yang menjelaskan jenis-jenis pelayanan yang tidak dijamin BPJS. Hal yang sama juga tertuang dalam UU Kesehatan.
Namun, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 52 Ayat (1) huruf i dan j Perpres 64/2020 justru sebaliknya.
Baca juga: Pasca-Putusan MA, Presiden Diminta Terbitkan Perpres Jaminan Kesehatan Baru
"Pasal 52 huruf i dan j Perpres Nomor 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan justru memuat pengecualian penjaminan berdasarkan gangguan kesehatan/penyakit, bukan jenis pelayanan seperti yang dimandatkan UU SJSN dan UU Kesehatan," ujar Maidina.
Maidina mengatakan, alasan lain pemohon mengajukan uji materi adalah karena ketentuan dalam Perpres tersebut bertentangan dengan sistem urun biaya jaminan kesehatan dalam UU SJSN.
Pasal 22 ayat (2) UU SJSN menyatakan, pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta sehingga dikenakan sistem urun biaya.
Sementara itu, yang diatur oleh Perpres 64/2020 adalah pengecualian penjaminan terhadap gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol serta gangguan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri.
Baca juga: ICJR Kecewa Pemerintah Cabut Layanan BPJS Kesehatan bagi Korban Tindak Pidana
Pemohon juga menilai, adanya ketentuan itu bertentangan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM serta UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) mengenai hak kesehatan tanpa diskriminasi.
"Ketentuan Pasal 52 huruf i dan j Perpres Nomor 64/2020 mendiskriminasi para pengguna dan pecandu obat yang berdasarkan UU Narkotika memiliki hak untuk direhabilitasi," ucap Maidina.
Terakhir, pemohon memandang Pasal 52 Ayat (1) huruf i dan j Perpres 64/2020 bertentangan dengan pengaturan hak atas kesehatan orang dengan adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif yang diatur UU Kesehatan Jiwa.
Pasal 62 ayat (2) UU Kesehatan Jiwa menjelaskan, tindakan medis atau pemberian obat psikofarmaka terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ditanggung oleh program Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Baca juga: Potret Layanan BPJS
Adapun masalah gangguan jiwa dapat timbul akibat adanya adiksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
Dengan demikian, Pasal 52 Ayat (1) huruf i dan huruf j Perpres 64/2020 dianggap membatasi akses ODGJ untuk mendapatkan obat psikofarmaka yang sebenarnya dijamin undang-undang.
"Berdasarkan argumentasi tersebut, para pemohon yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada advokasi perubahan kebijakan dan pemberdayaan orang dengan HIV-AIDS, pengguna dan pecandu narkotika, serta pekerja seks, mengajukan hak uji materiil kepada MA," kata Maidina.
Dalam permohonannya, pemohon meminta MA menyatakan Pasal 52 ayat (1) huruf i dan j Pepres JKN bertentangan dengan UU SJSN, UU Kesehatan, UU HAM, UU Kesehatan Jiwa, UU Pengesahan ICCPR dan mencabut ketentuan tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.