Ia menilai ruang lingkup penindakan oleh TNI tidak perlu terlibat dalam penanganan terorisme pada obyek vital strategis.
Contohnya, dalam ancaman terorisme terhadap presiden yang sifatnya harus aktual.
Selanjut, prinsip kedua adalah penggunaan dan pengerahan TNI harus atas dasar keputusan politik negara, yakni keputusan Presiden, itu pun dengan pertimbangan DPR.
Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Menurutnya, keputusan itu harus dibuat secara tertulis oleh Presiden. Sehingga jelas tentang maksud tujuan, waktu, anggaran, dan jumlah pasukan dalam pelibatannya.
Ketiga, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme di dalam negeri merupakan pilihan terakhir. Yakni dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa mengatasi aksi terorisme.
Keempat, pelibatan TNI bersifat sementara dan dalam jangka waktu tertentu.
Pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak boleh bersifat permanen karena tugas utama TNI sejatinya adalah dipersiapkan untuk menghadapi perang.
Kelima, pelibatan TNI itu harus tunduk pada norma hukum dan HAM yang berlaku.
Keenam, alokasi anggaran untuk TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalui APBN.
Mengingat, fungsi TNI yang bersifat terpusat sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU Nomor 34 Tahun 2004.
Baca juga: Imparsial Sebut 6 Prinsip Ini Perlu Ditekankan dalam Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme
"Pendanaan diluar APBN untuk TNI (APBD dan anggaran lainnya) memiliki problem akuntabilitas dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing," jelas Araf.
Ia menambahkan, pemerintah dan DPR harus benar benar serius dan hati-hati dalam membahas rancangan Perpres tersebut. Sehingga, masukan-masukan yang sudah disampaikan masyarakat sepatutnya diakomodasi dalam pembahasan rancangan Perpres tersebut.
"Jika hal itu tidak dilakukan, maka rancangan Perpres tersebut akan membahayakan kehidupan negara hukum, HAM, dan demokrasi di Indonesia," tegas Araf.
Sementara itu, Ketua Setara Institute Hendardi menilai rancangan Perpres tersebut akan merusak desain reformasi sektor keamanan.