JAKARTA, KOMPAS.com - Guyonan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai tiga polisi jujur mendadak ramai diperbincangkan, setelah seorang warga Kepulauan Sula, Maluku Utara, bernama Ismail Ahmad, harus berurusan dengan polisi.
Gus Dur dikenal sebagai salah satu tokoh politik yang kerap melancarkan kritik melalui lelucon.
"Karena bagi Gus Dur, humor ini akan menjaga kewarasan kita," kata Alissa Wahid kepada Kompas.com, Jumat (19/6/2020).
Lelucon "tiga polisi jujur" adalah salah satu yang paling terkenal. Dalam humor tersebut, Gus Dur menyebutkan, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng yang merupakan Kapolri kelima Indonesia.
Baca juga: Setelah Diperiksa di Kantor Polisi, Pengunggah Guyonan Gus Dur Minta Maaf
Humor itulah yang kemudian ditulis ulang oleh Ismail pada status akun media sosialnya pada Jumat (12/6/2020) lalu, setelah mendapatkannya pasca berselancar di jagat maya.
Namun, buntut dari unggahan itu, ia harus dipanggil ke Mapolres Sula untuk memberikan klarifikasi.
Tak sampai di sana, ia juga dikenai keharusan wajib lapor. Kewajiban itu sempat berjalan dua hari namun berhenti setelah Ismail menyampaikan permohonan maaf ke media massa.
Namun, cerita permohonan maaf itulah yang kemudian viral, yang berujung kritik tajam terhadap instansi Polri.
Baca juga: Saat Unggahan Guyonan Politik Gus Dur Berujung Pemeriksaan Polisi...
Di dalam Buku Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013), mantan Menteri Riset dan Teknologi AS Hikam menuturkan, humor itu pertama kali didengarnya pada tahun 2008 saat bertandang ke rumah Gus Dur.
Saat itu, tengah terjadi beberapa skandal korupsi besar di antaranya BLBI sebesar Rp 600 triliun dan Bank Century Rp 6,7 triliun yang menyeret sejumlah institusi negara, termasuk Polri.
Dilansir dari keterangan tertulis Jaringan Gusdurian, humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik.
Baca juga: Unggahan Guyonan Gus Dur, Kritik terhadap Polri, hingga Suara Gusdurian...
Terutama, setelah lembaga itu dipisahkan dari ABRI semasa Gus Dur masih menjabat sebagai presiden.
"Bagi Gus Dur, rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan," tulis keterangan tersebut, seperti dilansir Kompas.com, Jumat.
"Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain," imbuh keterangan itu.
Bukan kali ini saja kelakar Gus Dur soal tiga polisi jujur diceritakan kembali ke publik.
Menteri Dalam Negeri yang juga mantan Kapolri, Jenderal (Purn) Tito Karnavian, bahkan mengutip kelakar tersebut saat memberikan testimoni pada Haul Gus Dur ke-8 pada 22 Desember 2017 silam.
Menurut Tito, kelakar tersebut merupakan self criticism yang menjadi cambuk agar instansi Tribrata tersebut menjadi institusi yang lebih baik lagi.
Sikap Tito itu pula, yang diyakini Alissa Wahid, menjadi salah satu faktor yang membuat Ismail akhirnya tidak jadi diproses secara hukum.
Baca juga: Pengunggah Guyonan Gus Dur Tak Jadi Diproses Polisi, Alissa Wahid: Itu Baik
"Saya yakin salah satu sebab ini segera diluruskan karena kita tahu Pak Tito dalam sambutannya di acara Haul Gus Dur itu juga menyampaikan hal yang sama, mengutip humor itu. Bahkan Pak Sutarman, kapolri yang lain juga mengutip humor itu, dan menjadikan humor itu sebagai refleksi," kata Alissa.
"Sehingga tidak offended, tidak tersinggung. Lebih ke refleksi," imbuh dia.
Terkait tidak diprosesnya Ismail, hal itu dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono.
"Tidak ada BAP, tidak ada kasus," kata Argo melalui keterangan tertulis, Kamis (18/6/2020).
Tak hanya itu, ia juga mengungkapkan, anggota Polres Kepulauan Sula juga telah ditegur oleh Polda Maluku Utara akibat peristiwa ini.
Baca juga: Persoalan Guyonan Gus Dur, Kompolnas Sarankan Polisi Dibimbing Terima Kritik dengan Baik
Alissa menuturkan, peristiwa dipanggilnya Ismail oleh Polres Kepulauan Sula menjadi peringatan bahwa ada persoalan di dalam kehidupan berdemokrasi di masyarakat.
Persoalan yang dialami Ismail hanya satu dari sekian kasus serupa yang juga pernah terjadi di Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir.
"Kita tahu ada beberapa jurnalis yang dia menulis dengan kaidah jurnalisme yang akuntabel, kemudian disampaikan melalui kanal media yang resmi, itu dilaporkan atas nama pencemaran nama baik," kata Alissa.
"Jadi problem kita jauh lebih besar dari humor Gus Dur yang sampai ke polisi kemarin itu. Tapi problem kemerdekaan berpendapat yang bergesekkan dengan perasaan mudah tersinggung," imbuh dia.
Baca juga: Polri: Pengunggah Guyonan Gus Dur Tak Diproses Hukum, Anggota Ditegur
Menurut dia, perbedaan pendapat di suatu negara yang menganut sistem demokrasi adalah hal yang wajar. Justru, demokrasi yang sehat dibangun berdasarkan partisipasi masyarakat.
"Kan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Kalau dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, maka suara rakyat itu menjadi sangat penting. Termasuk di dalamnya kritik ini," ujarnya.
Kritik, imbuh dia, seharusnya dapat digunakan pemerintah untuk tidak bertindak secara sepihak.
Dalam hal ini, pemerintah berkuasa atas dasar mandat yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah. Namun, ia menambahkan, sering kali pemerintah kuasa itu diartikan sebagai kekuasaan pemerintah.
"Nah, kekuasaan pemerintah perlu untuk selalu diseimbangkan dengan pandangan yang berbeda. Kalau tidak akan menjadi pasif, otoriter," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.