JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi Save Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Presiden Joko Widodo menolak pembahasan Revisi Undang-Undang MK.
Koalisi yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Kode Inisiatif, Pusako FH Universitas Andalas, Pukat UGM dan YLBHI ini meminta Presiden membatalkan Revisi UU MK karena tak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
"Saat ini DPR sedang berencana merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011. Perubahan merupakan inisiasi dari DPR," ujar peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda sebagaimana dikutip dari keterangan pers Koalisi Save MK, Jumat (8/5/2020).
Baca juga: Masa Jabatan Hakim MK yang Dihapus di RUU MK Jadi Sorotan
Menurut Violla, bahkan sempat tersiar kabar bahwa naskah RUU MK ini telah berada di tangan Presiden Jokowi.
"Padahal, mengingat situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi Covid-19, sudah selayaknya Presiden menolak pembahasan RUU kontroversial ini," ujar Violla.
"Apalagi, perubahan UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020, sehingga tidak bisa dibahas tahun ini," kata dia.
Baca juga: Wacana Revisi UU MK yang Menuai Kritik...
Dia melanjutkan, dalam naskah RUU yang beredar di masyarakat setidaknya ada 14 poin perubahan dalam aturan tersebut.
Pertama, soal kenaikan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari 2 tahun 6 bulan menjadi 5 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK.
Kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun, sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf d RUU.
Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 tahun.
Namun, setelah ditelusuri lebih lanjut, kata dia, permasalahan pokok ada pada tiga ketentuan.
Baca juga: Presiden Jokowi Didesak Tolak Pembahasan Revisi UU MK
Sementara itu, kata Violla, sebelumnya dalam satu periode, hakim konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Hal ini terlihat dari dihapusnya ketentuan Pasal 22 dalam RUU dan Pasal 87 huruf c yang memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 tahun menjadi 70 tahun.
Baca juga: DPR Setuju Perppu Penanganan Covid-19 Jadi UU, Uji Materi di MK Terus Berjalan
Sementara untuk yang tidak mencapai, dapat ikut seleksi kembali jika usianya sudah mencapai 60 tahun.
"Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk 'menukar guling' supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19," ujar Violla.
Baca juga: Revisi UU MK Diajukan Ketua Baleg DPR sebagai Pengusul Tunggal
Sebelumnya, rencana DPR merevisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menuai kritik karena dinilai tidak mengatur hal-hal substansial dalam memperbaiki institusi MK.
Sebaliknya, draf revisi UU MK itu dinilai lebih banyak mengatur komposisi hakim MK, termasuk soal masa jabatan hingga usia minimum hakim MK.
"Apa kaitannya dengan masa jabatan yang kemudian dipanjangkan, problem di MK itu bayangan saya berkaitan dengan pengambilan keputusan, saya enggak tahu seberapa berkualitas sekarang putusan," kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah diskusi, Senin (14/4/2020).
Menurut Zainal, putusan MK yang berbeda kualitasnya antara suatu putusan dengan putusan yang lain mestinya menjadi prioritas ketimbang ketentuan soal masa jabatan.
Baca juga: Revisi UU MK, Aturan Usia Minimal Hakim Konstitusi Dipersoalkan
Ia juga menyoroti kentalnya politisasi di MK yang membuat putusan dapat disetir tanpa kejelasan.
"Ada putusan yang kelihatan serius dalam mengelola konsep putusannya, ada putusan yang seakan-akan asal jadi," kata Zainal.
"Itu problem menurut saya, lagi-lagi apa hubungannya dengan masa jabatan?" ujar dia.
Pasal 22 UU MK mengatur masa jabatan hakim konstitusi berlaku selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.
Baca juga: Perppu Covid-19 Digugat, MK Minta Penggugat Bandingkan dengan Negara Lain
Dalam draf revisi UU MK, ketentuan Pasal 22 tersebut dihapus. Ketentuan akhir masa jabatan hakim MK diatur lewat Pasal 23 yang menyatakan hakim MK dapat diberhentikan dengan hormat bila telah berusia 70 tahun.
Menurut pengajar pakar hukum tata negara STIH Jentera Bivitri Susanti, pembatasan masa jabatan tetap diperlukan sebagai mekanisme mengukur kinerja dan akuntabilitas para hakim MK.
"Apakah ada cara lain, apakah ada mekanisme lain yang secara kuat mengontrol perilakunya dan juga bagaimana kinerjanya di mahkamah konstitusi, hal ini yang harus dipertanyakan," ujar Bivitri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.