Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sidang Gugatan Terkait Akses Internet Papua, Hakim Tanya soal Definisi Pelanggaran HAM

Kompas.com - 11/03/2020, 16:25 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang gugatan penutupan akses internet di Papua dan Papua Barat saat terjadi konflik Agustus 2019 lalu menghadirkan dua saksi ahli dari pihak penggugat dalam sidang di PTUN, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (11/3/2020).

Pihak penggugat yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet dengan kuasa hukum LBH Pers, YLBHI, Kontras, ICJR, dan Elsam menghadirkan Dosen Ahli Fakultas Hukum Univeristas Airlangga Herlambang Perdana Wiratama dan Dosen Ahli Fakultas Hukum UGM Oce Madril.

Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang dipimpin Nelvy Christin memastikan penjelasan saksi ahli pertama, yakni Herlambang Perdana.

Baca juga: Gugat Jokowi soal Pelambatan dan Blokir Internet Papua, Tim Advokasi Siapkan 20 Bukti

Ia mempertanyakan tentang apakah ada aturan untuk menentukan bahwa melakukan throttling (pelambatan) atau pemblokiran akses internet adalah pelanggaran HAM.

"Ada dua hal, perbuatannya ada throttling-nya dan bicara internet yang diblokir, serta ada kejadian isu Papuanya. Yang kami tanya supaya tidak rancu, yang dianggap langgar HAM-nya apakah throttling-nya atau perbuatan peristiwanya yang terjadi?" tanya hakim.

Herlambang pun menjawab dengan mengatakan, hal tersebut menabrak Pasal 19 Ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

"Ini yang kita sebut menabrak Pasal 19 Ayat 3 dalam elemen 2 dan 3 terutama ketiga," ucap Herlambang.

"Legitimate aim bisa diterapkan, misalnya berkaitan dengan public order atau kepentingan publik, tapi apakah dia proporsional? Tidak. Tujuannya tercapai? Tidak," jawab Herlambang.

Baca juga: Di PTUN, Pemerintah Tegaskan Pemblokiran Akses Internet di Papua Tak Langgar Aturan

Hakim Nelvy pun memperjelas kembali maksud pertanyaannya.

Ia menanyakan, apakah saat ada throttling atau pemblokiran dapat ditarik langsung sebagai kesimpulan atau harus ada pengujian terlebih dahulu.

"Apakah itu bisa ditarik langsung kesimpulan (pelanggaran HAM) atau harus diuji dulu? Ketika ada peristiwa, pemerintah lakukan throttling, apa itu langgar HAM? Apakah harus diuji dulu benar tidak throttling ini sebanding dengan peristiwa?" tanya Nelvy.

"Apakah harus lewat filter-filter dulu atau terjadi throttling adalah langgar HAM? Membandingkan dengan India apakah peristiwanya langsung langgar HAM tanpa verifikasi oh itu langgar HAM, internet langsung throttling. Bagaimana pendapat Anda?" lanjut dia.

Majelis hakim juga menanyakan apakah keputusan menyebut pemblokiran internet sebagai pelanggaran HAM itu perlu melalui proses pembuktian.

"Apakah itu harus lewati serangkaian verifikasi atau serta merta kalau di-throttling langgar HAM?" tanya majelis.

"Kalau hidup di zaman Soeharto, tidak ada pembatasan internet. Mungkin jurnalis diculik, dibunuh dan lainnya. Hari ini, modelnya penekanan, pembatasan atau mengganggu. Pasal 4 UU Pers, salah satunya adalah internet blocking," jawab Herlambang.

Baca juga: Wamena Rusuh, 21 Orang Tewas, Ribuan Warga Mengungsi, Akses Internet Dibatasi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com