Salin Artikel

Sidang Gugatan Terkait Akses Internet Papua, Hakim Tanya soal Definisi Pelanggaran HAM

Pihak penggugat yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet dengan kuasa hukum LBH Pers, YLBHI, Kontras, ICJR, dan Elsam menghadirkan Dosen Ahli Fakultas Hukum Univeristas Airlangga Herlambang Perdana Wiratama dan Dosen Ahli Fakultas Hukum UGM Oce Madril.

Dalam sidang tersebut, majelis hakim yang dipimpin Nelvy Christin memastikan penjelasan saksi ahli pertama, yakni Herlambang Perdana.

Ia mempertanyakan tentang apakah ada aturan untuk menentukan bahwa melakukan throttling (pelambatan) atau pemblokiran akses internet adalah pelanggaran HAM.

"Ada dua hal, perbuatannya ada throttling-nya dan bicara internet yang diblokir, serta ada kejadian isu Papuanya. Yang kami tanya supaya tidak rancu, yang dianggap langgar HAM-nya apakah throttling-nya atau perbuatan peristiwanya yang terjadi?" tanya hakim.

Herlambang pun menjawab dengan mengatakan, hal tersebut menabrak Pasal 19 Ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

"Ini yang kita sebut menabrak Pasal 19 Ayat 3 dalam elemen 2 dan 3 terutama ketiga," ucap Herlambang.

"Legitimate aim bisa diterapkan, misalnya berkaitan dengan public order atau kepentingan publik, tapi apakah dia proporsional? Tidak. Tujuannya tercapai? Tidak," jawab Herlambang.

Hakim Nelvy pun memperjelas kembali maksud pertanyaannya.

Ia menanyakan, apakah saat ada throttling atau pemblokiran dapat ditarik langsung sebagai kesimpulan atau harus ada pengujian terlebih dahulu.

"Apakah itu bisa ditarik langsung kesimpulan (pelanggaran HAM) atau harus diuji dulu? Ketika ada peristiwa, pemerintah lakukan throttling, apa itu langgar HAM? Apakah harus diuji dulu benar tidak throttling ini sebanding dengan peristiwa?" tanya Nelvy.

"Apakah harus lewat filter-filter dulu atau terjadi throttling adalah langgar HAM? Membandingkan dengan India apakah peristiwanya langsung langgar HAM tanpa verifikasi oh itu langgar HAM, internet langsung throttling. Bagaimana pendapat Anda?" lanjut dia.

Majelis hakim juga menanyakan apakah keputusan menyebut pemblokiran internet sebagai pelanggaran HAM itu perlu melalui proses pembuktian.

"Apakah itu harus lewati serangkaian verifikasi atau serta merta kalau di-throttling langgar HAM?" tanya majelis.

"Kalau hidup di zaman Soeharto, tidak ada pembatasan internet. Mungkin jurnalis diculik, dibunuh dan lainnya. Hari ini, modelnya penekanan, pembatasan atau mengganggu. Pasal 4 UU Pers, salah satunya adalah internet blocking," jawab Herlambang.

"Kalau ditanya apakah itu (penutupan akses internet) pelanggaran HAM, saya tegas itu pelanggaran HAM. Apakah HAM itu termasuk deligible right atau non deligible right. Ini masuknya deligible right, artinya bisa dikurangi atau dibatasi," ujar dia.

Ia melanjutkan, ketika akses internet dikurangi, maka akan tetap sebagai pelanggaran HAM. Namun, akses internet sebenarnya masih bisa dibatasi dalam keadaan darurat.

"Dibatasinya dengan mekanisme khusus tunduk pada Pasal 4 Ayat 3 ICCPR. Rujukan pasal tersebut terkait situasi emergency kalau di Indonesia berarti secara khusus tunduk ke hukum nasional ada juga," kata dia.

Sebab, dalam Pasal 4 Ayat 3 ICCPR, kata dia, harus ada notifikasi dahulu kepada PBB sebelum melakukan pemblokiran.

Apalagi Indonesia merupakan negara yang sudah meratifikasi konvenan PBB.

"Tapi kalau dikaitkan dengan mengatasi ketertiban umum maka tunduk pada Pasal 19 Ayat 3, maka ia tunduk," kata dia.

Hakim Nelvy pun menegaskan, pihaknya tak ingin penjelasan saksi ahli dianggap salah oleh majelis.

Pasalnya, saksi ahli 1 menyampaikan bahwa setiap ada pembatasan internet disebut sebagai pelanggaran HAM, sementara di sisi lain ia menyampaikan pembatasan internet harus ada.

"Apakah tujuan pembatasan internet itu sebanding tidak dengan dampak dan sebagainya. Jangan sampai kalau L ada pembatasan itu pelanggaran HAM, padahal boleh dilakukan. Jangan sampai rancu," kata dia.

Herlambang pun kembali menegaskan bahwa jawabannya terkait penutupan akses internet di Papua oleh pemerintah adalah melanggar HAM.

"Saya masih konsisten dengan pendapat kalau ditanya pembatasan internet melanggar HAM, jawaban saya melanggar HAM. Dalam instrumen PBB dikenal permission limitation, pembatasan-pembatasan yang diizinkan. Itu tidak mengurangi istilahnya tidak melanggar HAM," kata Herlambang.

https://nasional.kompas.com/read/2020/03/11/16254881/sidang-gugatan-terkait-akses-internet-papua-hakim-tanya-soal-definisi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke