"Kalau ditanya apakah itu (penutupan akses internet) pelanggaran HAM, saya tegas itu pelanggaran HAM. Apakah HAM itu termasuk deligible right atau non deligible right. Ini masuknya deligible right, artinya bisa dikurangi atau dibatasi," ujar dia.
Ia melanjutkan, ketika akses internet dikurangi, maka akan tetap sebagai pelanggaran HAM. Namun, akses internet sebenarnya masih bisa dibatasi dalam keadaan darurat.
"Dibatasinya dengan mekanisme khusus tunduk pada Pasal 4 Ayat 3 ICCPR. Rujukan pasal tersebut terkait situasi emergency kalau di Indonesia berarti secara khusus tunduk ke hukum nasional ada juga," kata dia.
Sebab, dalam Pasal 4 Ayat 3 ICCPR, kata dia, harus ada notifikasi dahulu kepada PBB sebelum melakukan pemblokiran.
Apalagi Indonesia merupakan negara yang sudah meratifikasi konvenan PBB.
"Tapi kalau dikaitkan dengan mengatasi ketertiban umum maka tunduk pada Pasal 19 Ayat 3, maka ia tunduk," kata dia.
Hakim Nelvy pun menegaskan, pihaknya tak ingin penjelasan saksi ahli dianggap salah oleh majelis.
Pasalnya, saksi ahli 1 menyampaikan bahwa setiap ada pembatasan internet disebut sebagai pelanggaran HAM, sementara di sisi lain ia menyampaikan pembatasan internet harus ada.
"Apakah tujuan pembatasan internet itu sebanding tidak dengan dampak dan sebagainya. Jangan sampai kalau L ada pembatasan itu pelanggaran HAM, padahal boleh dilakukan. Jangan sampai rancu," kata dia.
Herlambang pun kembali menegaskan bahwa jawabannya terkait penutupan akses internet di Papua oleh pemerintah adalah melanggar HAM.
"Saya masih konsisten dengan pendapat kalau ditanya pembatasan internet melanggar HAM, jawaban saya melanggar HAM. Dalam instrumen PBB dikenal permission limitation, pembatasan-pembatasan yang diizinkan. Itu tidak mengurangi istilahnya tidak melanggar HAM," kata Herlambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.