JAKARTA, KOMPAS.com - Guru Besar Bidang Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati meminta DPR membatalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga.
"Jadi, daripada susah-susah dibahas di DPR, lebih kita dicabut saja RUU ini dan tidak dilanjutkan," kata Maria dalam diskusi bertajuk Tolak RUU Ketahanan Keluarga: RUU Kok Gitu?, di FMIPA Universitas Indonesia, Selasa (3/3/2020).
Maria menilai, RUU Ketahanan Keluarga tidak sesuai dengan asas keadilan yang terdapat dalam Undang-undang tentang Pembentukan Perundang-undangan (UU PPP).
"Kita bisa lihat dalam UU tentang Pembentukan Perundang-undangan itu ada asas-asas tentang keadilan, semuanya harus berlaku bagi kita, tapi kalau peraturan untuk seseorang saja itu tidak akan ada artinya," ujarnya.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Seperti Tata Tertib
Selain itu, menurut Maria, pasal per pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga ini terlalu mencampuri peran suami-istri dan hanya memperluas Undang-undang tentang Perkawinan.
Oleh karenanya, ia mempertanyakan anggota-anggota DPR yang mengusulkan RUU tersebut.
"Kewajiban suami itu banyak, kewajiban istri sedikit, menjaga keutuhan keluarga, jadi saya mengatakan, pas saya baca RUU ini hanya seperti pedoman-pedoman saja, ya ini suatu tata tertib keluarga itu (keluarga) harus begini dan begini, ujarnya.
Senada dengan Maria, Psikolog Klinis Forensik Kassandra Putranto menyarankan DPR tak perlu membahas RUU Ketahanan Keluarga.
Baca juga: 3 Poin Dalam RUU Ketahanan Keluarga yang Tuai Kritik
Kassandra mengatakan, untuk mencapai ketahanan keluarga terdapat beberapa syarat yaitu keyakinan, komunikasi yang terbuka dan prinsip kesetaraan.
"Syarat-syaratnya adalah harus ada keyakinan, komunikasi yang terbuka proaktif, dan prinsip kesetaraan," kata Kassandra.
Kendati demikian, Kassandra menilai, pasal-pasal yang dimuat dalam RUU Ketahanan Keluarga tidak ditemukan kesetaraan, tetapi perbedaan "power" dalam keluarga.
"Ternyata di dalam pelaksanaannya tidak ditemukan equality, ada perbedaan power bahwa orang tua lebih berkuasa dari pada anak, suami lebih berkuasa dari istri dan anak wajib ini dan itu," pungkasnya.
Baca juga: Indonesia Dinilai Tak Butuh RUU Ketahanan Keluarga
Seperti diketahui, RUU Ketahanan Keluarga dikritik sejumlah pihak karena dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi.
RUU itu di antaranya mengatur tentang kewajiban suami dan istri dalam pernikahan hingga wajib lapor bagi keluarga atau individu pelaku LGBT.
Aktivitas seksual sadisme dan masokisme juga dikategorikan sebagai penyimpangan seksual dalam RUU tersebut sehingga wajib dilaporkan.
Baca juga: RUU PKS Dinilai Lebih Penting Dibandingkan RUU Ketahanan Keluarga
RUU Ketahanan Keluarga ini merupakan usul DPR dan diusulkan oleh lima anggota DPR yang terdiri dari empat fraksi dan masuk dalam RUU Prolegnas prioritas DPR tahun 2020.
Mereka adalah anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.
Namun, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar memutuskan untuk mencabut dukungannya atas RUU Ketahanan Keluarga.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.