JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga yang menjadi usulan DPR ramai kritik dan ditolak masyarakat.
Pasalnya, RUU Ketahanan Keluarga dinilai terlalu mengatur ranah privat warga negara, terutama hubungan suami-istri dalam keluarga.
Adapun menurut International for Criminal Justice Reform (ICJR) ada tiga poin soal RUU ini yang perlu dikritisi.
Berikut tiga poin kritik ICJR terhadap RUU Ketahanan Keluarga :
Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahyu menilai, RUU Ketahanan Keluarga mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis.
Anggara menjelaskan, pada Pasal 16 ayat (1) dimuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari kewajiban menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota Keluarga lainnya; melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia; serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.
Baca juga: RUU PKS Dinilai Lebih Penting Dibandingkan RUU Ketahanan Keluarga
Kemudian, pada Pasal 24 ayat (2) RUU ini menguraikan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain.
"Kewajiban-kewajiban yang diuraikan tersebut tidak bisa dijangkau oleh kewenangan negara, karena negara tidak bisa melihat/menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban tersebut, karena kewajiban yang diuraikan adalah ruang spiritualitas seseorang," kata Anggara dalam keterangan tertulis, Rabu (26/2/2020).
Anggara mengatakan, dalam Pasal 2 huruf k RUU Ketahanan Keluarga diatur bahwa ketahanan keluarga berasaskan non diskriminasi.
Namun, pada Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) hak dan kewajiban suami istri jelas berbeda.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga Dianggap Terlalu Banyak Atur Ranah Etika
Suami memiliki kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga, sedangkan istri hanya dalam ranah domestik seperti mengurusi urusan rumah tangga dan menjaga keutuhan keluarga.
"Dengan adanya RUU ini, maka Pemerintah Indonesia harusnya marah, karena upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik," ujarnya.
Anggara mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga dapat menghina kelompok orang miskin. Sebab, dalam RUU tersebut diatur bahwa orang tua diwajibkan memberikan kehidupan yang layak kepada anak.
Apabila orang tua gagal memberikan kehidupan yang layak terhadap anak, maka dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum.
Menurut Anggara, aturan itu terdapat pada Pasal 33 RUU, disebutkan bahwa setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, gizi dan kesehatan, sandang, dan tempat tinggal yang layak huni; mengikutsertakan anggota Keluarga dalam jaminan kesehatan; dan menjaga kesehatan tempat tinggal dan lingkungan.
Baca juga: Ketua DPR: RUU Ketahanan Keluarga Terlalu Intervensi Ranah Privat
Setiap keluarga juga diwajibkan memiliki tempat tinggal dengan sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik; serta ketersediaan kamar yang dipisah antara laki-laki dan perempan untuk mencegah kejahatan seksual.
"Pengaturan ini jelas penuh stigma dan menghina orang miskin. Keluarga yang tidak mampu menyediakan kamar terpisah dianggap melanggar hukum dan tidak berupaya mencegah kekerasan seksual," ucapnya.
Berdasarkan tiga poin tersebut, Anggara meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang rencana pembahasan RUU tersebut.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.