Menurut Kiai Matin, Gus Dur mampu melihat dengan jernih berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Salah satunya, praktik diskriminasi yang dialami oleh masyarakat Tionghoa kala itu.
“Hakikatnya pendengaran dan penglihatannya sangatlah tajam, bisa melihat situasi dan kondisi bangsa ini,” tutur Kiai Matin.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004, Gus Dur pernah menyebut setidaknya ada ribuan peraturan yang memicu diskriminasi. Misalnya, peraturan soal Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).
"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut, misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Indonesia Berduka, Gus Dur Berpulang pada 30 Desember 2009
Gus Dur termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan aturan yang bersifat diskriminatif termasuk pada etnis Tionghoa.
Ia pun meminta masyarakat Tionghoa berani memperjuangkan hak-haknya.
"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.
Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) ini menegaskan, etnis Tionghoa juga bagian dari Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, mereka memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan etnis lainnya.
Baca juga: Peran Gus Dur di Balik Kebebasan Merayakan Imlek di Indonesia...
"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.
"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," tutur dia.
Meneruskan jejak Gus Dur
Meski Gus Dur telah berpulang sepuluh tahun silam, namun semangat kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan terus digaungkan.
Sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas GUSDURian Banten dan Forum Komunikasi Pemuda Lintas Agama (FOKAPELA) berusaha membumikan pemikiran-pemikiran Gus Dur melalui berbagai cara.
Mereka menginisiasi peringatan haul Gus Dur dengan dibalut pagelaran budaya. Tarian adat Bali hingga Papua ditampilkan di aula Pondok Pesantren Al-Fathaniyah.
Baca juga: Gus Dur, Islam, dan Pancasila
“Alasan utama (ada pagelaran budaya) karena berkenaan dengan semangat Gus Dur yang sangat terbuka dengan keragaman budaya,” ujar Ketua Pelaksana haul Gus Dur sekaligus pegiat FOKAPELA, Krispianus T Lilo.