JAKARTA, KOMPAS.com - Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) memberikan catatan atas tudingan tak memiliki legal standing oleh Kemenkominfo dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas gugatan terkait pemutusan internet di Papua dan Papua Barat.
"Melihat dari jawaban tergugat I dan tergugat II dengan mengatakan kami tidak punya hak untuk mengajukan gugatan, merasa tersinggung," ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto di PTUN Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Adapun gugatan sendiri dilancarkan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), SAFENet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR.
Atas tudingan itu, Damar pun memberikan dua catatan atas jawaban tergugat I dan tergugat II.
Baca juga: Tim Advokasi Tegaskan Kedudukan Hukum soal Gugatan Pemblokiran Internet di Papua
Pertama adalah para penggugat merupakan organisasi resmi yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Ditambah, masing-masing penggugat juga mengantongi badan hukum. Sehingga, secara administratif mereka memiliki kewenangan untuk melakukan gugatan.
Selain itu, lanjut Damar, pemerintah selama ini telah mengakui eksistensi keberadaan para penggugat.
SAFEnet, misalnya. Organisasi ini kerap kali diundang pemerintah untuk menjadi narasumber mengenai isu digital.
Baca juga: Di PTUN, Pemerintah Tegaskan Pemblokiran Akses Internet di Papua Tak Langgar Aturan
Dalam setahun, SAFEnet telah diundang di kegiatan Kemenkominfo pada 13 Agustus 2019, Kementerian PPN/Bappenas, Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga dipercaya oleh pemerintah menjadi delegasi forum tata kelola internet dunia di Berlin, Jerman.
Damar menyatakan, kehadiran SAFEnet dalam agenda tersebut menunjukan pemerintah mengakui keberadaan organisasinya.
"Artinya selama ini pemerintah mengakui kami kalau urusan yang baik-baik saja, diminta pendapatnya. Kok, bagaimana sekarang ketika mengajukan gugatan seperti ini tidak diakui keberadaannya, itu kan mengecewakan dan ini jadi keprihatinan saya," katanya.
Baca juga: Blokir Internet di Papua, Presiden Jokowi Digugat Melanggar Kemerdekaan Pers
Catatan kedua adalah, pemerintah salah menafsirkan Pasal 40 Undang-Undang ITE mengatur hak pemerintah untuk melakukan blocking atau menghapus setiap informasi yang melanggar UU seperti pornografi, SARA, terorisme dan pencemaran nama baik.
Dalam aturan itu, pemerintah memiliki kewenangan memutus konten negatif, bukan memutuskan jaringan internet.
"Jadi itu dulu pahami, jangan dibaca hanya setengah-setengah. Ini sangat kelihatan sekali pemerintah tidak mengerti apa yang sudah dia susun, lalu tidak memahami bahwa apa yang dilakukan ini punya dampak yang besar," tegas Damar.
Baca juga: SAFEnet Dorong Adanya Evaluasi Efektivitas Pemblokiran Internet di Papua
Sebelumnya diberitakan, pemerintah melakukan pemutusan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan akses itu dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks dan meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tak dilakukan pembatasan akses internet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.