JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers mendalilkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melanggar hukum atas pemblokiran internet di Papua Papua Barat pada Agustus 2019 lalu.
Hal itu diungkapkan tim advokasi pembela kebebasan pers sebagai penggugat dalam persidangan pokok perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rawamangun, Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020) siang.
"Kami mendalilkan ini melanggar hukum, melanggar UUD. Melanggar asas pemerintahan yang baik. Hari ini sidang perdana di mana hakim membacakan pokok-pokok gugatan kami," ujar Koordinator Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers, Muhammad Isnur seusai sidang perdana di PTUN Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Baca juga: Pemerintah Diminta Utamakan Literasi Digital Ketimbang Blokir Internet
Adapun Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers ini meliputi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, dan ICJR.
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Nelvy Christin tersebut hanya dihadiri pihak Kemenkominfo sebagai tergugat I.
Sedangkan Jokowi sebagai tergugat II mangkir.
Isnur menyatakan, dalam gugatan itu meminta supaya pemerintah tidak mengulangi tindakan yang sama dalam memblokir dan memperlambat akses internet di Papua.
Karena itu, pihaknya meminta majelis hakim dalam putusannya menyatakan apa yang dilakukan tergugat I dan tergugat II melanggar hukum.
"Kami meminta PTUN menyatakan itu perbuatan melanggar hukum, melanggar HAM, cacat secara prosedur dan substansi atau kewenangan," tegas Isnur.
Baca juga: Wiranto: Kalau Pemerintah Blokir Internet di Papua, Itu Bukan Sewenang-wenang
Isnur mengungkapkan, gugatan ini merupakan kali pertama terjadi di Indonesia. Di mana gugatan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah digelar di PTUN.
"Ini gugatan pertama di Indonesia yang menggugat perbuatan melawan hukum oleh pemerintah di PTUN," kata Isnur.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah melakukan pelambatan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan akses dilakukan dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks dan meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tak dilakukan pembatasan akses internet.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.