Pemerintah mestinya punya kemauan untuk menyingkap kebenaran dan mewujudkan keadilan, termasuk membongkar berbagai kasus pelanggaran berat HAM atau tindakan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh negara melalui aparatnya.
"Masalahnya adalah adakah niat pemerintah untuk mengungkap tuntas kasus kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalu? RUU- KKR sangat potensial untuk menutup mata terhadap tuntutan keadilan dan pelurusan sejarah," ucapnya.
Arief mengatakan, ada dua hal yang bisa terjadi apabila RUU KKR berhasil terlaksana dan gagal terlaksana.
Pertama, apabila RUU KKR berhasil dan pelaku mau mengakui kesalahan, korban memaafkan, permohonan amnesti dikabulkan,pemberian kompensasi-rehabilitasi-restitusi terlaksana dan kedua belah pihak menandatangani kesepakatan damai, maka rekonsiliasi berjalan mulus.
Baca juga: Jumat Kelam Tragedi Semanggi 1998, Perjalanan Mencekam Bertemu Wawan...
Kedua, jika RUU KKR gagal terlaksana yaitu pengakuan pelaku tidak jujur, korban tidak bersedia memaafkan dan Komisi juga tidak bisa menerima pengakuan pelaku, dan permohonan amnesti oleh pelaku ditolak, maka kasus tersebut dilimpahkan ke Pengadilan HAM ad hoc.
Kendati demikian, penuntasan kasus HAM akan terhambat apabila pengadilan HAM ad hoc gagal dibentuk.
Lantas, bagaimana RUU KKR yang saat ini masuk dalam 50 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR tahun 2020?
Rencana pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diharapkan dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Mekanisme KKR itu diharapkan dapat proporsional sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
Sebab, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan