Kendati demikian, penuntasan kasus HAM akan terhambat apabila pengadilan HAM ad hoc gagal dibentuk.
Lantas, bagaimana RUU KKR yang saat ini masuk dalam 50 RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR tahun 2020?
Rencana pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menghidupkan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diharapkan dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Mekanisme KKR itu diharapkan dapat proporsional sehingga dapat memberikan rasa keadilan bagi keluarga korban.
Sebab, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena tidak memberikan kepastian hukum.
Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman mengatakan, pemerintah sudah merampungkan naskah akademik dan draf rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (RUU KKR).
"Jadi kemajuannya sudah cukup bagus, naskah akademiknya sudah selesai dan kemudian rancangan undang-undangnya sudah selesai. Segera sudah dimasukkan ke dalam prioritas prolegnas," kata Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (5/12/2019).
Menurut Fadjroel, pembentukan KKR dilakukan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
KKR bisa membuat pengadilan HAM, tapi pengungkapan kebenaran kasus-kasus HAM masa lalu lebih diutamakan.
Pemerintah berharap pembentukan kembali KKR dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Jadi kita kalau mengungkapkan kebenaran hati kita ini lega. Semuanya dinyatakan, lalu kemudian KKR bekerja, setelah itu baru diberikan rekomendasi sehingga semuanya bisa berjalan, rekonsiliasi terhadap seluruh rakyat," ujarnya.
Senada dengan Fadjroel, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah Jokowi ingin menuntaskan perdebatan penuntasan kasus HAM masa lalu.
Baca juga: Mahfud MD Klarifikasi Pernyataan Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi
"Jangan karena ada yang menolak, ada yang setuju, lalu tidak diputuskan, itu tidak boleh. Itulah tugasnya UU, menyelesaikan yang setuju dan yang tak setuju," kata Mahfud dalam wawancara khusus kepada Kompas.com, Kamis (5/12/2019).
Mahfud memahami, keluarga korban pelanggaran HAM berat, menginginkan agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan.
Namun, ada pula alternatif lain yang beberapa kali dilontarkan pemerintah yaitu melalui jalur non-yudisial.
Ia juga mengatakan, segala pro dan kontra terkait kasus membuat penyelesaian kasus terhambat. Oleh karenanya, sebaiknya disampaikan di DPR demi dicapai sebuah keputusan.
"Disampaikan di DPR, adu argumen lalu diputuskan. Kan selesai," ungkap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.