JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers Muhammad Isnur menegaskan, pihaknya memiliki legal standing dalam menggugat Presiden Joko Widodo dan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat pada Agustus 2019.
"Di dalil, kami menggugat karena AJI punya track record dan kepentingan. Mereka secara lembaga membuktikan punya pengalaman membela pers sehingga itu menjadi legal standing," ujar Isnur usai sidang perdana di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Diketahui, Tim Advokasi Pembela Kebebasan Pers ini meliputi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR.
Baca juga: Akses Internet Papua Dibatasi, Kominfo: Ada 300.000 Konten Hoaks di Medsos
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Nelvy Christin, pihak tergugat yang menghadiri sidang hanyalah Kemenkominfo. Sementara, Presiden Jokowi atau perwakilannya tak hadir.
Dalam eksepsi tergugat I yang dibacakan Nelvy, disebutkan bahwa para penggugat tidak mempunyai kepentingan untuk menggugat sehingga tidak mempunyai legal standing.
Mengenai hal tersebut, Isnur menegaskan penggugat merupakan perwakilan dari insan pers di seluruh Indonesia.
Terutama pers di Papua dan Papua Barat yang dirasa paling terkena dampak akibat perlambatan dan pemblokiran akses internet di wilayah Papua dan Papua Barat pada 19 dan 21 Agustus 2019.
Isnur menjelaskan, AJI serta jurnalis di Papua dan Papua Barat merasa sangat terganggu dengan pemadaman internet.
Begitu juga dengan LSM SAFENet yang saat itu memiliki program di Papua dan Papua Barat mengalami kendala akibat kebijakan pelambatan dan pemadaman internet.
"Nanti akan kami jawab dalam replik. Jadi kami selama ini punya bukti yang diserahkan AJI dan SAFEnet. Mereka telah bertahun-tahun berjuang dan mengalami kerugian langsung," tegas Isnur.
Baca juga: Pemblokiran Internet di Papua, Jurnalis Kesulitan Berikan Informasi ke Publik
"Bukan hanya mereka berdua, seluruh aspek pemerintahan, baik itu layanan KTP, SIM bank juga teman-teman driver ojol (terganggu)," tambah Isnur.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah melakukan pelambatan internet pada 19 Agustus 2019 dan pemblokiran internet pada 21 Agustus di Papua dan Papua Barat.
Pembatasan akses itu dengan alasan untuk mengurangi penyebaran hoaks dan meminimalisasi penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi ketika terjadinya aksi massa di Papua.
Pihak kepolisian saat itu menyebut bahwa aksi anarkistis bisa lebih parah jika tidak dilakukan pembatasan akses internet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.