JAKARTA, KOMPAS.com - Nasib pemberantasan korupsi seolah-olah menjadi salah satu pertanyaan terbesar sepanjang tahun 2019 ini.
Di samping berbagai upaya yang dinilai melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nasib pemberantasan korupsi di negeri ini juga terancam oleh hukuman ringan yang diperoleh para koruptor.
Komitmen antikorupsi lembaga peradilan pun menjadi sorotan setelah beberapa kali memberikan vonis ringan bagi para koruptor, baik di sidang tingkat pertama atau di tingkat kasasi.
Presiden Joko Widodo selaku lembaga eksekutif juga tak luput dari sorotan.
Sebab, Jokowi juga memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi yang sudah terbukti bersalah di pengadilan.
Berikut ini sejumlah peristiwa di mana para koruptor memperoleh "hadiah" berupa grasi dan vonis ringan selama 2019:
1. Syafruddin Arsyad Temenggung divonis bebas
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung menghirup udara bebas setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukannya.
Majelis hakim menyatakan, Syafruddin terbukti terlibat dalam menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Namun, majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.
"Menyatakan Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah di Gedung MA, Jakarta, Selasa (9/7/2019).
Putusan tersebut membatalkan vonis 15 tahun penjara yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Baca juga: Kasus BLBI, Sjamjul Nursalim dan Syafruddin Arsyad Rugikan Negara Rp 4,8 Triliun
Putusan PT DKI ini memperberat hukuman Syafruddin dari vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor.
Namun, dalam amar putusan MA itu, terdapat dissenting opinion.
Dari tiga anggota majelis hakim, Hakim Anggota I Syamsul Rakan Chaniago menilai, perkara tersebut bukan ranah pidana, melainkan perdata.
Sementara itu, Hakim Anggota II Mohamad Asikin menilai, perkara yang melibatkan Syafruddin masuk ke ranah hukum administrasi.
Putusan tersebut kemudian menciptakan polemik baru setelah MA menyatakan hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Dikutip dari Antara, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan, hakim Syamsul masih terdaftar sebagai pengacara meski sudah menjabat sebagai hakim ad hoc tipikor di MA.
Selain itu, Syamsul juga terbukti bertemu dengan pengacara Syafruddin Temenggung, Ahmad Yani.
Keduanya bertemu di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019, sekitar satu jam sejak 17.38 WIB.
"Padahal saat itu yang bersangkutan duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim terdakwa SAT," jelas Andi.
Atas putusan tersebut, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK masih mempertimbangkan upaya peninjauan kembali atasan putusan MA yang melepas Syafruddin.
Untuk putusan lepas dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, tim JPU KPK sedang memperdalam pertimbangan-pertimbangan hukum untuk kebutuhan mempersiapkan pengajuan Peninjauan Kembali," kata Febri dalam keterangan tertulis, Kamis (21/11/2019).
Namun, Febri menegaskan, KPK terus berupaya mengembalikan kerugian negara dari pusaran kasus BLBI yang nilainya mencapai Rp 4,58 triliun.
"Jumlah ini sangat besar nilainya jika nanti dapat dimanfaatkan untuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, atau pelayanan publik lainnya," kata Febri.