JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal PPP Achmad Baidowi mengatakan, partainya tak akan mengusung calon kepala daerah yang berlatar belakang mantan narapidana korupsi.
Hal itu disampaikan Awi, sapaannya, menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan eks terpidana kasus korupsi membutuhkan waktu lima tahun setelah bebas dari penjara untuk dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
"Ya kita terima sebagai keputusan MK. Karena perintah konstitusi jelas, putusan MK itu setara dengan konstitusi," ujar Awi di Kantor DPP PPP, Menteng, Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Baca juga: Ini Beberapa Kandidat Kuat Calon Ketum PPP...
"Dan tidak hanya 2020. Pilkada 3 tahun sebelumnya, sama sekali tidaj ada eks napi yang kami usung sebagai calon kepala daerah. Jadi kami dari coret pilkada kemarin-kemarin itu," lanjut Awi.
Ia menambahkan, PPP memiliki desk khusus pilkada yang memantau rekam jejak seluruh calon yang mendaftar. Dari seleksi yang dilakukan desk tersebut, para eks napi korupsi yang mendaftar akan tereliminasi dengan sendirinya.
Awi mengatakan, saat ini mudah untuk mendeteksi rekam jejak seseorang. Terlebih, saat ini semua yang menyangkut profil seseorang hampir tercatat dalam jejak digital.
"Sekarang kan sangat mudah melibatkan pihak ketiga untuk mentracking ini pernah enggak korupsi. Bisa sangat mudah. Apalagi dengan era media yang sangat terbuka itu hampir semuanya terlacak dan sudah pasti tidak akan kami calonkan," lanjut dia.
Sebelumnya diberitakan, MK menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Baca juga: Fraksi PPP Siap Kritik RUU KKR Usulan Pemerintah
Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Oleh karena MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, bunyi pasal tersebut menjadi berubah. Salah satu yang berubah adalah ketentuan bagi mantan narapidana kasus korupsi, yang kini bisa mencalonkan diri pada pilkada setelah lima tahun keluar penjara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.