Sebanyak 11 orang Suku Anak Dalam di Batang Hari Jambi dikenai Pasal 170 KUHP karena dituduh merusak dan melakukan penganiayaan.
Kemudian, terdapat 27 orang warga di Kabupaten Wahoni Sulawesi Tenggara dan 6 orang peladang di Sintang Kalimantan Barat dikenakan UU Lingkungan Hidup Nomor 32, Perkebunan dan KUHP.
Selanjutnya, dua orang masyarakat adat di batak dituduh menganiaya karyawan perusahan Toba Pulp Lestari (TPL), masyarakat adat di Sumba NTT terkena UU ITE 1 orang, pasal pencemaran nama baik d Ketapang Kalimantan Barat yang sedang dalam proses persidangan, serta satu orang masyarakat adat di Muara Teweh Kalimantan Tengah yang terkena UU Lingkungan Hidup Pasal 36 pembakaran ladang.
"Semuanya masuk persidangan, proses penyelidikan. Rata-rata masih di persidangan. Belum ada yang vonis, rata-rata di kepolisian dan proses persidangan," tutup dia.
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria Soemardjono menilai, UU sektoral yang ada saat ini tak dapat memberikan keadilan bagi masyarakat hukum adat (MHA).
Baca juga: Masyarakat Adat Pulau Buru Tolak Danau Rana Dijadikan Destinasi Wisata Dunia
Oleh karena itu, ia pun mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat.
"Berbagai UU terutama UU sektoral menyinggung MHA dan hak ulayat. Tapi kalau dilihat satu sama lain tidak saling mendukung bahkan saling menegasikan. Oleh karena itu, di samping tak adil buat MHA, juga tak menyandingkan kepastian hukum sehingga yang dirugikan adalah MHA," kata Maria.
Berselisihnya norma-norma yang diatur dalam berbagai UU terkait masyarakat adat dan hak-haknya, dinilainya sangat sporadis dan sumir.
Contohnya adalah hak-hak MHA atas wilayah yang dimilikinya, dengan UU Kehutanan yang membuat mereka dituduh sebagai pelaku perusakan hutan.
"Sebetulnya permasalahannya itu apa? Ini masalah lama. Salah satu penyakitnya, norma yang tudak bersesuaian dengan yang lain," kata dia.
Maria mencontohkan, terdapat UU Sumber Daya Alam (SDA) yang sifatnya memberikan kesempatan para pemodal untuk melakukan hal-hal ekstarktif atau mengambil secara langsung.
Baca juga: Masyarakat Adat Berharap Jokowi Tunjuk Putra Dayak sebagai Menteri
Namun, kata dia, kewenangan ekstraktif itu tak berlaku bagi MHA itu sendiri karena UU tak memberikan hak yang sama kepada mereka seperti halnya para pemodal itu.
"UU mengizinkan (pemodal mengambil SDA langsung) tapi UU tidak memberikan hak yang sama kepada MHA yang sebagian besar hidupnya tergantung SDA," kata Maria.
Menurut Maria, hal tersebut terjadi sejak orde baru yang menggulirkan industrialisme dan yang terkena pertama kali adalah masyarakat adat.
Sebelum muncul UU bersifat sektoral, kata dia, industri ekstraktif tidak terlalu tampak. Namun semua itu berubah sejak UU sektoral muncul sekitar tahun 1967.
"UU-nya tak melindungi (MHA), malah bertentangan sehingga UU Masyarakat Adat penting untuk memberikan kepastian hukum tentang kedudukan dan keberadaan MHA agar bisa tumbuh kembang secara wajar," kata dia.
Melalui UU Masyarakat Adat, kata dia, MHA bisa melakukan hak-haknya. Misalnya berpartisipasi dalam hak politik, sosial, ekonomi, serta memperkaya budaya nusantara.
Mereka juga bisa turut melestarikan kearifan lokal di beberapa tempat agar menjadi kebudayaan nasional, termasuk meminimalisir bencana. Termasuk ikut meningkatkan ketahanan sosial bagi masyarakat itu sendiri sebagai bagian dari ketahanan nasional.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menilai bahwa RUU Masyarakat Adat dibutuhkan sebagai pemenuhan hak-hak azasi atas masyarakat adat.
Baca juga: Bertemu Sekjen PDI-P, Masyarakat Adat Maumere Titip Pesan untuk Jokowi
Wakil Ketua Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, RUU Masyarakat Adat harus melengkapi seluruh hak yang diakui menurut hukum internasional terhadap masyarakat adat.
Sebab, saat ini banyak hak-hak masyarakat adat yang belum diakui, termasuk dalam beberapa UU yang sudah ada.
"RUU ini harus melengkapi semua hak yang diakui menurut hukum internasional terhadap masyarakat adat," kata Sandra.
"Ada banyak yang belum diakui, jadi RUU ini harus memuat hak-hak masyarakat adat secara substantif dan harus sejalan dengan prinsip-prinsip universal," lanjut dia.
Dia mengatakan, RUU Masyarakat Adat penting untuk melengkapi pengaturan hak-hak masyarakat itu sendiri.
Selama ini, kata dia, sudah banyak UU yang mengatur keberadaan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Mulai dari UU Kehutanan, Minerba, hingga Lingkungan Hidup. Namun yang jadi persoalan, kata dia, definisi yang diterapkan berbeda-beda, termasuk pengaturan hak-haknya.