JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah mengumumkan kabinet barunya yang dinamakan Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (23/10/2019) pekan lalu.
Susunan kabinet tersebut mendapat beragam respons dari publik. Ada yang menyambut positif dengan gegap gempita, ada pula yang menyambut negatif dengan memberikan banyak catatan.
Indonesia Corruption Watch merupakan salah satu kelompok publik yang memberi catatan atas Kabinet Indonesia Maju.
Pihak ICW menilai, agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi sulit dijalankan bila berkaca pada susunan kabinet.
"Agenda reformasi hukum dan pemberantasan korupsi Jokowi-Maruf Amin kami proyeksi sulit terwujud mengingat kementerian lembaga sektor hukum diisi figur yang berafiliasi dengan partai politik," kata Peneliti ICW Almas Sjafrina di Kantor ICW, Senin (28/10/2019).
Baca juga: Berkaca dari Susunan Kabinet, ICW Ragukan Agenda Reformasi Hukum Jokowi
Seperti diketahui, Jokowi kembali menunjuk politikus PDI-P Yasonna Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Sementara itu, posisi Jaksa Agung diisi oleh ST Burhanuddin yang merupakan adik dari politikus PDI-P, Tb Hasanudin.
ICW mengaku meragukan independensi figur-figur tersebut karena dikhawatirkan mempunyai konflik kepentingan dalam upaya penegakan hukum.
Khusus untuk nama Yasonna, ICW juga mempertanyakan keputusan Jokowi kembali menunjuk Yasonna sebagai Menkumham.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, rekam jejak Yasonna selama menjadi Menkumham pada Kabinet Kerja lalu tidak menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi.
Kurnia membeberkan, ada lima hal yang menguatkan kesimpulan itu, yakni dukungan Yasonna terhadap revisi UU MD3, revisi UU KPK, revisi KUHP, revisi UU Pemasyarakatan, serta longgarnya pengawasan lembaga pemasyarakatan sehingga masih ada narapidana kasus korupsi yang bisa plesiran saat menjalani masa hukuman.
"Lima indikator tadi seharusnya menjadikan presiden untuk tidak memasukkan orang ini lagi ke dalam Kabinet Indonesia Maju," ucap Kurnia.
Baca juga: ICW Nilai Penyusunan Kabinet Tak Cerminkan Semangat Pemberantasan Korupsi
Selain Yasonna, ICW mempersoalkan eks Kapolri, Jenderal Polisi (Purnawirawan) Tito Karnavian yang ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri.
Kurnia mengatakan, Tito selaku Kapolri masih menpunyai utang menyelesaikan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Kurnia juga mempersoalkan kasus perusakan barang bukti yang lazim disebut kasus buku merah yang diduga menyeret nama Tito dalam kasus korupsi pengisaha Basuki Hariman.
Tak libatkan KPK
ICW juga menyayangkan tidak dilibatkannya KPK dan PPATK dalam menelusuri rekam jejak para menteri dan wakil menteri.
Menurut Almas, mekanisme yang digunakan Jokowi dalam menyusun Kabinet Kerja pada 2014 lalu mestinya kembali diterapkan untuk membangun kabinet yang lebih bersih dari korupsi.
"Kami sempat berharap tahun ini meningkat, kalau dulu ke KPK dan PPATK, kami berharap tahun ini ke Dirjen Pajak juga. Tapi jangankan ke Dirjen Pajak, tapi ke PPATK dan KPK (saja) tidak," ujar Almas.
ICW, lanjut Almas, juga menyayangkan terpilihnya sejumlah nama menteri yang pernah dipanggil KPK ataupun disebut terlibat dalam kasus-kasus korupsi.
Almas menegaskan, ICW tidak melihat setiap orang yang diperiksa KPK pasti terlibat kasus korupsi.
Namun, Almas menyebut, Jokowi mestinya dapat memastikan bersih tidaknya nama-nama yang dipanggil KPK itu sebelum menunjuk mereka menjadi menteri.
"Harapannya, ketika Jokowi menunjuk nama saksi kasus korupsi apalagi orang yang disebut di sidang menerima aliran dana hasil korupsi, Presiden Jokowi seharusnya sudah konfirm betul bahwa orang-orang ini tidak terlibat terkait kasus tersebut," kata Almas.
Baca juga: ICW Heran Yasonna Laoly Kembali Ditunjuk Jadi Menkumham
Di samping itu, ICW mencatat, ada delapan orang menteri dan wakil menteri yang sebelumnya merupakan penyelenggara negara yang belum memperbarui laporan harta kekayaan mereka.
Padahal, sebagai penyelenggara negara, mestinya mereka memperbarui LHKPN-nya secara periodik setiap tahunnya.
Nama-nama itu adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali.
Kemudian, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar, serta Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong.
Tenggat 100 hari
Dari sekian banyak catatan yang diberikan, ICW menaruh harapan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md untuk mendorong agenda penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Kurnia menyatakan, salah satu tugas besar bagi Mahfud adalah mendorong penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atas UU KPK hasil revisi yang dinilai melemahkan KPK.
Menurut Kurnia, posisi Mahfud sebagai Menko Polhukam mestinya bisa membuat Presiden Jokowi terdorong untuk menerbitkan Perppu KPK.
Apalagi, Mahfud selama ini dikenal sebagai tokoh yang aktif mendukung wacana penerbitan Perppu KPK.
"Kalau dikaitkan dengan pembentukan kabinet, dengan ditunjuknya Prof Mahfud sebagai Menko Polhukam maka harusnya bisa meminta kepada presiden segera mengeluarkan perppu," kata Kurnia.
Baca juga: ICW Beri Waktu 100 Hari bagi Mahfud MD Dorong Penerbitan Perppu KPK
ICW pun memberi waktu 100 hari bagi Mahfud untuk mendorong penerbitan Perppu KPK. Mahfud diminta untuk menunjukkan konsistensinya dalam mendukung Perppu KPK.
Apabila Perppu KPK tak kunjung terbit dalam waktu 100 hari, Kurnia mengusulkan agar Mahfud sebaiknya mengundurkan diri dari jabatan Menko Polhukam.
"Saya rasa 100 hari waktu yg tepat untuk diberikan publik kepada Mahfud Md karena selama ini Mahfud Md dikenal sebagai figur yang pro terharap pemberantasan korupsi," kata Kurnia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.