Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena "Buzzer" Memanipulasi Opini, Pencerdasan Publik Dinilai Penting

Kompas.com - 08/10/2019, 14:55 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Mohammad Rinaldi Camil menekankan pentingnya upaya pencerdasan publik di tengah fenomena buzzer, terutama yang bergerak di media sosial.

"Yang perlu didorong pencerdasan publik, kan publik belum terkonsolidasi. Ada CSO, kelompok intelektual, dan masyarakat luas itu harus konsolidasi," kata Rinaldi saat dihubungi, Selasa (8/10/2019).

Menurut dia, itu perlu dilakukan untuk membangun jaringan pesan yang kuat untuk melawan buzzer yang melakukan manipulasi opini publik.

Baca juga: Buzzer Dinilai Bisa Geser Fokus Publik soal Kasus Novel Baswedan

Ia berharap publik aktif bersuara melawan narasi negatif yang disebarkan buzzer di media sosial.

"Intelektual perlu aktif memproduksi pengetahuan kepada publik supaya tercerahkan dan tahu mana yang positif dan negatif. Nanti akan tertangkap di jaringan sosialnya nanti bisa terlihat suara publik, bisa membentuk jaringan yang besar," kata dia.

Rinaldi memaparkan, salah satu contoh jaringan pesan yang kuat dan positif di media sosial adalah gerakan dengan tagar #GejayanMemanggil. Gerakan itu tak semata berada di ranah maya, melainkan juga di dunia nyata.

#GejayanMemanggil merupakan aksi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya di seputaran Yogyakarta.

Baca juga: #GejayanMemanggil dan Suara dari Gejayan...

Sejumlah tuntutan aksi itu di antaranya mendesak pembahasan ulang pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP, menolak revisi Undang-Undang KPK yang baru disahkan DPR, dan menolak upaya pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Yang Gejayan Memanggil itu, itu kan organik tapi accidental. Mungkin dia tidak sustain dan gampang digemboskan. Nah oleh karenanya hal semacam ini bisa terkonsolidasi dengan baik untuk penguatan agenda publik yang berkelanjutan," ujar dia.

Upaya itu penting, mengingat buzzer yang menyebarkan narasi negatif sulit dikontrol.

Sebab. menurut Rinaldi, tidak ada kejelasan siapa yang memerintah, menggerakkan, dan membayar mereka. Selain itu tidak ada pengaturan legal yang mengikat mereka.

Baca juga: Riuh Buzzer Jokowi...

Buzzer semacam itu dinilainya juga berkontribusi menimbulkan gejolak di sejumlah daerah di Indonesia, beberapa waktu lalu.

"Cara kerjanya di zona abu-abu, penuh kerahasiaan, tidak ada akuntabilitas yang mendanai dan apakah betul disponsori pihak A atau B, kemudian pesannya kan negatif," kata dia.

"Buzzer kayak itu efektif di masyarakat yang tidak teliterasi dengan baik, apalagi masyarakat kita yang cenderung komunal di mana kita suka men-share tanpa memfilter mandiri dan apalagi di tengah kondisi politik kita," ujar Rinaldi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | 'Amicus Curiae' Pendukung Prabowo

[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | "Amicus Curiae" Pendukung Prabowo

Nasional
Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com