Sementara di foto kedua, Dandhy menuliskan, "WAMENA (foto 2). Siswa SMA protes sikap rasis guru. Dihadapi aparat. Kota rusuh. Banyak yang luka tembak".
Dalam utas tersebut, Dandhy menilai tampaknya kekerasan menjadi satu-satunya cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah di Papua.
"Peristiwa di Jayapura (foto 1) dan Wamena (foto 2) hari ini menunjukkan bahwa di Papua tampaknya hanya berlaku satu cara untuk mengatasi segala masalah, yaitu kekerasan. Di Papua risiko menyampaikan aspirasi bukan dipanggil rektor, tapi mati atau luka tembak. Sampai kapan?" demikian twit Dandhy.
Selanjutnya, Dandhy juga mengomentari sejumlah berita yang mengabarkan soal peristiwa di sana.
Baca juga: Hentikan Penyidikannya, Bebaskan Dandhy Dwi Laksono...
Dandhy juga mengomentari pemberitaan Kompas.com yang menyebutkan ada 16 warga tewas dan 65 terluka saat kerusuhan terjadi.
"Innalillahi. RIP. Jika ini terjadi di Jawa atau Jakarta seperti peristiwa Trisakti (Mei 1998) yang menewaskan 4 orang, tentu reaksi dan dampaknya akan lain. Tapi ini Papua. Seolah semua yang buruk kita anggap wajar terjadi dan ongkos "NKRI Harga Mati," kata dia.
Innalillahi. RIP. Jika ini terjadi di Jawa atau Jakarta seperti peristiwa Trisakti (Mei 1998) yang menewaskan 4 orang, tentu reaksi dan dampaknya akan lain.
Tapi ini Papua. Seolah semua yang buruk kita anggap wajar terjadi dan ongkos "NKRI Harga Mati". https://t.co/VefxA9Tliu
— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) September 23, 2019
Penangkapan Dandhy bermula saat ia baru tiba di rumah sekitar pukul 22.30 WIB. Sekitar 15 menit kemudian, terdengar pintu rumah digedor.
Rombongan yang dipimpin seorang bernama Fathur itu kemudian mengaku akan menangkap Dandhy karena unggahan mengenai Papua.
Sekitar pukul 23.05, tim yang terdiri dari empat orang membawa Dandhy ke Polda Metro Jaya dengan mobil Fortuner bernomor polisi D 216 CC.
Dandhy dikenal publik sebagai pendiri WatchDoc, rumah produksi yang menghasilkan film-film dokumenter dan jurnalistik.
Sebagai sutradara, dia pernah membesut sejumlah film dokumenter yang dianggap kontroversial seperti "Sexy Killers" dan "Rayuan Pulau Palsu".
Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini juga dikenal sebagai aktivis yang kerap mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo.