"Kalau berbicara peluang tentu ada, karena dia populer dan anak presiden," kata Arya saat dihubungi Kompas.com, Senin (23/9/2019).
Baca juga: Gibran Gabung PDI-P, Sinyal Bakal Diusung untuk Pilwakot Solo?
Arya mengatakan, bergabungnya Gibran pun membuka peluang bagi DPP PDI-P untuk memveto pencalonan Achmad Purnomo dalam Pilkada Solo.
Hal itu bisa dilakukan mengingat salah satu pihak yang menandatanganinya adalah DPP partai.
Akan tetapi, ia mengatakan, hal itu akan menimbulkan resistensi di internal partai.
"Karena hasil seleksi internal itu kan sudah dilakukan cukup lama," ujar dia.
"Yang kedua, seleksi internal itu kan mewadahi aspirasi kader dan pengurus yang dilakukan melalui cara-cara yang terbuka," kata Gibran.
Meski demikian, menurut Arya, masih ada celah karena nama Gibran baru muncul belakangan.
Oleh karena itu, perpanjangan waktu atau membuka pendaftaran lagi bisa menjadi jalan tengah.
Di sisi lain, Arya menilai, turunnya Gibran ke gelanggang politik merupakan salah satu bentuk langgengnya praktik dinasti politik di Indonesia.
Ia mengatakan, politik Indonesia pasca-reformasi salah satunya ditandai dengan tumbuhnya politik dinasti.
Sebagai orang yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan politik, menurut Arya, tentu Gibran mempunyai keinginan terjun sebagai politikus.
"Saya kira itu melanjuutkan tradisi dinasti politik yang sebelumnya berkembang pada anak-anak presiden sebelumnya," kata Arya.
Uji materi
Di lain pihak, sejumlah politikus muda berjuang membuka peluang berlaga dalam pilkada dengan mengajukan uji materi UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Politikus Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany dan Dara Nasution, politikus Partai Amanat Nasional Faldo Maldini, serta politikus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Cakra Yudi meminta bata usia calon kepala daerah diturunkan karena dinilai diskriminatif.