JAKARTA, KOMPAS.com — Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan direvisi oleh DPR pada 5 September 2019.
Hal ini mendapat protes dan penolakan dari sejumlah pihak, termasuk dari sivitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
LIPI menilai, pembahasan atas revisi UU tersebut tidak mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik.
Baca juga: Tokoh Lintas Agama Ajak Masyarakat Tolak Revisi UU KPK
Dengan demikian, LIPI mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menolak revisi tersebut.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo agar menolak revisi UU KPK yang bertujuan meniadakan independensi dan melumpuhakn kinerja KPK," ujar Peneliti LIPI Dian Aulia saat membacakan penolakan tersebut di Kantor LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
Selain itu, LIPI juga menilai bahwa isi revisi UU tersebut berpotensi mengancam independensi dan melumpuhkan kinerja KPK.
Baca juga: Kelompok Pendukung dan Penolak Revisi UU KPK Gelar Unjuk Rasa di DPR
Di antaranya isi usulan revisi adalah KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif; penyadapan dipersulit dan dibatasi; pembentukan dewan pengawas yang dipilih DPR; sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; kewenangan penuntutan dihilangkan; kewenangan mengelola LHKPN; perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Kemudian, KPK dapat menghentikan penyidikan (SP3); perkara yang menjadi sorotan publik dapat diabaikan; serta kewenangan pengambilalihan penuntutan perkara dipangkas.
"KPK adalah amanah reformasi dalam upaya melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme di satu pihak, serta penegakan pemerintahan yang bersih di pihak lain," lanjut Dian.
Dalam pembacaan penolakan atas revisi UU KPK tersebut, setidaknya ada 146 orang dari LIPI yang telah menandatangani penolakan.