JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR RI segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
Koalisi yang terdiri dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Forum Pengada Layanan, dan Gerakan Masyarakat Sipil Sahkan RUU PKS ini menuntut sejumlah hal yang pada intinya adalah pengesahan RUU PKS tepat waktu.
Sebab, apabila terlambat, akan muncul dampak buruk atas kasus-kasus kekerasan seksual sebagai akibat dari lemahnya payung hukum terhadap peristiwa ini.
Berikut kritik koalisi masyarakat sipil terhadap pembahasan RUU PKS di DPR RI:
1. DPR Tak Serius
DPR dinilai tak serius untuk membahas ataupun menyelesaikan RUU PKS.
Hal ini terbukti dari sedikitnya fraksi DPR dan panitia kerja (Panja) yang hadir dalam rapat pembahasan RUU PKS, Senin (26/8/2019).
Baca juga: Ini Alasan Masyarakat Sipil Desak DPR Selesaikan RUU PKS
Berdasarkan hasil pantauan koalisi masyarakat sipil kemarin, hanya 2 dari 12 fraksi yang menghadiri pembahasan. Sedangkan anggota Panja yang hadir hanya 3 orang dari total 26.
"DPR sebagai wakil rakyat tidak serius dan menganggap bahwa permasalahan kekerasan sesksual yang kerap terjadi pada warga negaranya bukanlah hal yang penting untuk segera dituntaskan," kata Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan Ratna Batara Munti saat konferensi pers di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).
Menurut Ratna, karena banyak anggota Panja yang tidak hadir, pembahasan RUU pun tidak membawa langkah maju. Rapat tidak menghasilkan apapun hingga akhirnya ditutup.
"Rapat pembahasan hanya dibuka untuk kemudian ditutup," ujar dia.
2. DPR Dianggap Tidak Terbuka
Koalisi masyarakat sipil berpendapat, DPR tak mau terbuka saat proses pembahasan RUU PKS.
Ratna mengaku, dirinya dan beberapa anggota koalisi tidak diperbolehkan menyimak berjalannya pembahasan, baik melalui ruangan rapat maupun balkon ruang rapat.