Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kritik Bagi DPR yang Lamban Sahkan RUU PKS...

Kompas.com - 28/08/2019, 12:46 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR RI segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Koalisi yang terdiri dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan, Forum Pengada Layanan, dan Gerakan Masyarakat Sipil Sahkan RUU PKS ini menuntut sejumlah hal yang pada intinya adalah pengesahan RUU PKS tepat waktu.

Sebab, apabila terlambat, akan muncul dampak buruk atas kasus-kasus kekerasan seksual sebagai akibat dari lemahnya payung hukum terhadap peristiwa ini.

Berikut kritik koalisi masyarakat sipil terhadap pembahasan RUU PKS di DPR RI:

1. DPR Tak Serius

DPR dinilai tak serius untuk membahas ataupun menyelesaikan RUU PKS.

Hal ini terbukti dari sedikitnya fraksi DPR dan panitia kerja (Panja) yang hadir dalam rapat pembahasan RUU PKS, Senin (26/8/2019).

Baca juga: Ini Alasan Masyarakat Sipil Desak DPR Selesaikan RUU PKS

Berdasarkan hasil pantauan koalisi masyarakat sipil kemarin, hanya 2 dari 12 fraksi yang menghadiri pembahasan. Sedangkan anggota Panja yang hadir hanya 3 orang dari total 26.

"DPR sebagai wakil rakyat tidak serius dan menganggap bahwa permasalahan kekerasan sesksual yang kerap terjadi pada warga negaranya bukanlah hal yang penting untuk segera dituntaskan," kata Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan Ratna Batara Munti saat konferensi pers di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2019).

Menurut Ratna, karena banyak anggota Panja yang tidak hadir, pembahasan RUU pun tidak membawa langkah maju. Rapat tidak menghasilkan apapun hingga akhirnya ditutup.

"Rapat pembahasan hanya dibuka untuk kemudian ditutup," ujar dia.

2. DPR Dianggap Tidak Terbuka

Koalisi masyarakat sipil berpendapat, DPR tak mau terbuka saat proses pembahasan RUU PKS.

Aktivis LBH APIK, Ratna Batara Munti, saat selesai diskusi bertajuk Bisakah Poligami Dilarang di Indonesia?  di Jakarta, Sabtu (15/12/2018). CHRISTOFORUS RISTIANTO/KOMPAS.com Aktivis LBH APIK, Ratna Batara Munti, saat selesai diskusi bertajuk Bisakah Poligami Dilarang di Indonesia? di Jakarta, Sabtu (15/12/2018).
Tudingan ini berangkat dari tidak diizinkannya masyarakat sipil hadir dalam rapat pembahasan RUU PKS di DPR, Senin.

Ratna mengaku, dirinya dan beberapa anggota koalisi tidak diperbolehkan menyimak berjalannya pembahasan, baik melalui ruangan rapat maupun balkon ruang rapat.

"Tidak diizinkannya kami masyarakat sipil untuk menyaksikan proses pembahasan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak prosedural warga negara yaitu untuk hadir, hak atas informasi dan hak untuk berpartisipasi," ujar Ratna.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Pesimistis DPR Rampungkan RUU PKS Tahun Ini

Ratna pun mempertanyakan keterbukaan DPR untuk membahas RUU PKS.

"Dengan pelarangan tersebut, DPR seakan-akan tidak bersedia pembahasannya disaksikan masyarakat, khususnya perempuan yang berkepentingan langsung dengan RUU ini," kata dia.

Ke depannya, koalisi masyarakat sipil meminta untuk selalu dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.

3. Pesimis Selesai Tahun Ini

Koalisi masyarakat sipil pesimis RUU PKS dapat disahkan DPR tahun ini.

Pasalnya, hingga beberapa kali pembahasan, belum ada progres yang signifikan atas RUU ini. Sementara itu, masa kerja DPR periode 2014-2019 kurang dari bulan lagi.

"Enggak akan disahkan pada tahun ini kalau melihat cara mereka (DPR) ya. Karena kita hanya punya waktu beberapa hari ini," kata Ratna.

Baca juga: Ini 9 Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang Diatur dalam RUU PKS

Ratna mengatakan, jika DPR bergegas, seharusnya RUU ini bisa diselesaikan sebelum Oktober 2019. Sebab, pemerintah pun telah siap untuk menyelesaikan pembahasan.

Meski begitu, Ratna dan koalisi masyarakat sipil tetap berharap DPR dapat memenuhi janji mereka untuk mengesahkan RUU PKS sebelum Oktober 2019 ini.

"Kami minta DPR segera mengesahkan RUU PKS pada periode ini sebagai bentuk keseriusan DPR dan pemerintah atas situasi genting terkait banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi," kata Ratna.

4. Berpotensi Jatuh Korban Lagi

RUU PKS dinilai penting disahkan lantaran dari tahun ke tahun angka kekerasan seksual semakin meningkat.

Ratusan massa dari Aliansi Muslimah Aceh mendatangi kantor DPR Aceh untuk melakukan aksi demostrasi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Senin (08/04/2019).KOMPAS.com/RAJA UMAR Ratusan massa dari Aliansi Muslimah Aceh mendatangi kantor DPR Aceh untuk melakukan aksi demostrasi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Senin (08/04/2019).
Menurut koalisi masyarakat sipil, RUU KUHP pun dinilai tidak akan cukup menyelesaikan kasus kekerasan seksual, meskipun memuat pasal tentang pemidanaan perkosaan, pencabulan dan perzinaan.

"RUU KUHP itu jelas tidak mengatur pemulihan korban, tidak mengatur korban itu harus didampingi oleh psikolog, tidak mengatur soal pencegahan," ujar Ratna.

"Itulah kenapa kita berkepentingan dengan adanya RUU PKS ini. Karena memang dia RUU khusus yang mengatur dari hulu ke hilir secara komprehensif dalam bentuk penanggulangan kekerasan seksual," lanjut dia.

Baca juga: Anggota Komisi VIII Pastikan RUU PKS Tak Legalkan Seks Bebas

Ratna mengatakan, jika RUU PKS tak segera diselesaikan, dikhawatirkan akan semakin banyak korban-korban kekerasan seksual yang tidak mendapat keadilan hukum.

Tanpa adanya RUU ini, bukan tidak mungkin kasus serupa yang dialami Baiq Nuril ataupun Rizki Amelia yang dilecehkan oleh atasannya kembali terulang.

 

Kompas TV Untuk pertama kalinya hakim menjatuhkan vonis kebiri kimia terhadap pelaku pemerkosaan. Vonis kebiri kimia dijatuhkan kepada Muhamad Aris berusia 20 tahun. Pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur ini terbukti memerkosa 9 anak. Selain hukuman kebiri kimia Aris juga dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta rupiah subsider 6 bulan kurungan. Menanggapi vonis ini Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi hukuman tersebut. Pasalnya petunjuk teknis hukuman tersebut belum ada mengingat vonis ini baru pertama kali dijatuhkan. Hukuman bagi pelaku kejahatan seksual yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia menuai pro dan kontra. Hukuman ini dinilai akan membuat jera para pelaku dan mencegah kejahatan semakin marak terjadi. Apakah hukuman ini akan efektif diterapkan? Dan bagaimana seharusnya Ikatan Dokter Indonesia menyikapi ini? Kami akan membahasnya dengan pakar hukum pidana sekaligus mantan hakim Asep Iwan iriawan, juga bersama Kepala Bidang Hukum Ikatan Dokter Indonesia dr. Nazar dan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto Rudi Hartono. #KebiriKimiawi #PredatorAnak #Mojokerto
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Anies Pertimbangkan Maju Pilkada DKI, PKS: Kita Lagi Cari yang Fokus Urus Jakarta

Nasional
Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

Nasional
Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Nasional
Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Nasional
56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

Nasional
Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com