JAKARTA, KOMPAS.com - Analis politik dan Direktur Indostrategi Arif Nurul Imam menilai susunan kabinet yang terdiri 45 persen partai politik berpotensi membuat koalisi pendukung Presiden Joko Widodo gelisah.
Sebab, porsi sebesar 45 persen tentunya akan mengurangi jatah kursi yang digantikan oleh kelompok profesional sebesar 55 persen.
"Situasi ini tentu menjadikan parpol gelisah karena praktis akan mengurangi jatah kursi menteri yang digantikan kaum profesional," ujar Arif kepada Kompas.com, Kamis (15/8/2019).
Seperti diketahui ada enam parpol di DPR yang tergabung dalam koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019.
Baca juga: Parpol Dapat Jatah 45 Persen di Kabinet, Jokowi: Tak Boleh Menolak
Keenam parpol tersebut adalah PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan Partai Hanura.
Arif menilai, koalisi pendukung dapat terpecah jika Presiden Jokowi gagal mengelola konflik dan manajemen politik.
Namun, koalisi juga dapat semakin solid apabila Presiden Jokowi berhasil melakukan negosiasi dan kompromi politik.
"Di politik semua mungkin, bisa pecah jika gagal mengelola konflik dan manajemen politik. Tapi bisa juga tetap solid jika ada negosiasi dan kompromi politik," kata Arif.
"Meski demikian, sekali lagi, Jokowi di periode kedua tak memiliki beban sebesar (Pilpres) 2014 karena 2024 tidak bisa maju lagi," ucapnya.
Baca juga: Demokrat Tetap Merapat ke Jokowi Meski Tak Masuk Kabinet
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Kabinet Kerja pada periode mendatang akan diwarnai gabungan menteri dari profesional dan unsur partai politik.
Secara spesifik, Jokowi menyatakan bahwa komposisi menteri dari partai politik memiliki porsi yang sedikit lebih kecil ketimbang kalangan profesional.
"Partai politik bisa mengusulkan, tetapi keputusan tetap di saya. Komposisinya 45 persen," kata Jokowi saat bertemu pemimpin media massa di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Dengan demikian, perbandingan menteri dari kalangan profesional dengan unsur partai politik adalah 55 persen berbanding 45 persen.
Jokowi kemudian menegaskan bahwa semua pihak harus menerima komposisi itu. Ini termasuk ketua umum dan elite parpol.
Meski mendapat jatah yang lebih sedikit dibanding kalangan profesional, namun elite parpol tak boleh menolak. Sebab, penyusunan kabinet adalah sepenuhnya hak prerogatif presiden.