JOKO Widodo terpilih kembali sebagai Presiden Indonesia, melalui Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Di pundaknya terpanggul kerja yang harus dituntaskan.
Salah satu yang terpenting untuk dituntaskan itu adalah penguatan ideologi bangsa, Pancasila.
Di periode pertama kepemimpinannya, sebuah badan penguatan Pancasila—yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)—telah didirikan.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, badan ini merevitalisasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang didirikan setahun sebelumnya.
Persoalannya, program penguatan ideologi bangsa ini dirasa belum maksimal.
Program penguatan, atau kalau istilah formalnya pembinaan Pancasila, memang tidak dilakukan berdasar komparasi strategis dengan program serupa yang pernah terjadi di republik ini. Artinya, pembinaan Pancasila di era Presiden Jokowi cenderung bersifat a-historis.
Ada beberapa penyebab. Pertama, penguatan Pancasila langsung diletakkan dalam konteks sosialisasi untuk generasi milenial. Hal ini memang penting. Namun, ketika sosialisasi itu hanya dipahami sebagai “cara” maka ia melupakan problem “isi”.
Paradigma “cara” yang saya maksud ialah concern sosialisasi milenial pada teknik penyampaian nilai yang serba digital. Penguatan teknis ini lalu melupakan “isi”, yaitu nilai dan konsep Pancasila seperti apa yang mesti diarusutamakan?
Tak heran jika penguatan tersebut akhirnya terjebak pada seremonial. Berbagai festival digelar, lengkap dengan sajian hiburan dan selebrasi artis; konon agar bisa diterima oleh generasi milenial.
Baca juga: Kemendagri dan BPIP Tandatangani MoU soal Pembinaan Ideologi Pancasila
Penguatan Pancasila lalu terjebak dalam budaya pop (pop culture) yang glamor panggungnya tetapi rapuh dalam konsep dan signifikansi ideologis.
Karenanya, penguatan Pancasila tidak akan bisa mengimbangi ideologisasi seperti yang dilakukan para aktivis tarbiyah dalam lingkaran-lingkaran diskusi kecil (halaqah) di serambi masjid.
Pendekatan ideologisasi yang ilmiah ini terbukti efektif mengajak 23,4 persen mahasiswa kita menolak Pancasila (Alvara RC, 2017)!
Dengan demikian, kita mengulangi kelemahan Orde Baru. Atas nama anti-indoktrinasi, kita tolak Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Namun, kita membiarkan penguatan Pancasila pasca-reformasi ini menguap percuma dalam “gelembung seremonial”, akibat afirmasi pada budaya pop.
Kedua, BPIP juga belum menyusun pedoman pemahaman atas Pancasila. Pedoman ini bukan tafsir resmi negara, melainkan panduan akademik bagi pembacaan dan pemahaman terhadap ideologi bangsa.
Di masa Orde Lama, pedoman ini bernama Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) yang berisi Manipol-Usdek, kependekan dari Manifesto Politik dan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Di masa Orde Baru, pedoman itu bernama P-4.
Baca juga: PDI-P Usul Pendidikan Pancasila Diajarkan Sejak TK
Memang BPIP sedang menyusun sebuah Garis-garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP). Namun, dokumen ini sepertinya belum rampung.
Pertanyaannya, seberapa progresif konsep GBHIP ini dibandingkan dengan P-4 dan Tubapi? Kita belum bisa mengkaji.
Hanya saja agar pedoman berpancasila di era Reformasi ini tidak mengulang kelemahan pedoman sebelumnya, ada baiknya dipahami beberapa hal mendasar.
Pertama, pedoman tersebut harus memuat dimensi normatif, kognitif, dan praksis dari Pancasila secara holistik.
Dimensi normatif memuat nilai-nilai yang dihayati sebagai pandangan hidup. Dimensi kognitif memuat konsepsi pengetahuan di dalam lima sila. Sedangkan dimensi praksis mengandung praktik dari nilai dan konsep pengetahuan tersebut.
Orde Lama menekankan dimensi kognitif dan praksis. Ia mengembangkan tafsir ideologis atas Pancasila dengan pendekatan sosialistik.
Baca juga: MPR Tegaskan Pancasila Ideologi Paling Tepat untuk Indonesia
Maka, Usdek yang adalah “hadist”-nya Pancasila, berisi konsep-konsep pengetahuan tentang sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin yang dihadapkan dengan demokrasi liberal, ekonomi terpimpin yang membedakan diri dengan kapitalisme dan komunisme, serta konsep esensialis (cultural essentialism) tentang hakikat kebudayaan Indonesia.
Konsep-konsep ideologis ini lalu dipraksiskan, baik untuk membentuk karakter manusia pro-revolusi maupun dalam desain pembangunan sosialistik.
Orde Baru lalu merevisi pendekatan ini, dengan menekankan dimensi normatif dari Pancasila untuk menghasilkan perilaku kewargaan yang sesuai dengan iklim pembangunan.
Proses normativisasi dalam bentuk penyederhanaan Pancasila menjadi 45 butir kode perilaku moral ini menjadi konsekuensi dari proses de-Soekarnoisasi Pancasila.
Proses de-Soekarnoisasi ini sendiri dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:
Akibat de-Soekarnoisasi ini, Pancasila dibersihkan dari tradisi intelektual, baik dari pemikiran Soekarno maupun tradisi berpikir kritis. P-4 lalu menghadirkan Pancasila sebagai nilai-nilai normatif yang harus dijadikan pedoman setiap warga negara dalam berperilaku.
David Bourchier dalam Pancasila Versi Orde Baru (2007) menyatakan, P-4 menitikberatkan pada penguatan sila Persatuan Indonesia. Melaluinya, pemerintah meminta rakyat bersatu dengan negara.
Maka yang dimaksud Eka Prasetya Pancakarsa—Satu Tekad Melaksanakan Lima Kehendak—adalah tekad mengorbankan kepentingan individu demi kepentingan bangsa dan negara.
Tentu, penyatuan rakyat dan negara ini dilakukan demi terciptanya stabilitas politik agar pembangunan ekonomi tidak terganggu.
Dengan demikian, jika pedoman berpancasila era reformasi ini tidak ingin mengulang kelemahan pedoman sebelumnya, ia harus mewadahi semua dimensi Pancasila secara holistik.
Karena menitikberatkan dimensi normatif, P-4 mengalpakan dimensi kognitif. Demikian pula dengan Tubapi, yang dimensi pengetahuannya perlu disegarkan dalam konteks bangsa demokratis.
Pada titik ini, pedoman Pancasila era reformasi harus lebih menekankan dimensi kognitif untuk menguatkan dimensi normatif dan praksis.
Dimensi kognitif itu harus dikembangkan melalui tradisi pemikiran kontemporer.
Dalam hal ini, Yudi Latif melalui karyanya, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) telah memulai hal itu.
Baca juga: Yudi Latif: Pancasila Tak Bertentangan dengan Agama
Di dalam karya monumental tersebut, Yudi yang juga mantan Kepala BPIP ini mengembangkan konsepsi lima sila berdasarkan teori-teori sosial kontemporer.
Maka, sila pertama memuat konsep agama publik (public religion) dan pola hubungan agama dan negara dalam rangka toleransi kembar (twin toleration).
Melalui konsep ini, ketuhanan kita tidak berhenti pada ritus dan toleransi beragama, tetapi pengamalan agama demi kebajikan publik (public virtue).
Melalui toleransi kembar, Pancasila ingin menegaskan bahwa watak kenegaraannya, melampaui sekularisasi dan islamisasi.
Sila kedua memuat konsep Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan konstitusi kita terhadapnya.
Sila ketiga memuat konsep nasionalisme kewargaan (civic nationalism) yang mempraksiskan semangat kebangsaan ke dalam etos kewargaan demokratis.
Lalu, sila keempat memuat konsep demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang menekankan kekuatan deliberasi publik dalam perumusan kebijakan politik.
Baca juga: Mengapa Pancasila Tidak Bisa Diganti?
Adapun sila kelima memuat konsep ekonomi Pancasila dan ideal Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state)
Dimensi kognitif ini harus diperkuat di dalam pedoman dan praktik penguatan Pancasila.
Sebab, Indonesia pasca-reformasi adalah Indonesia demokratis, yang masyarakatnya memiliki kritisisme juga penguasaan pengetahuan tingkat lanjut.
Kontekstualisasi lima sila ke dalam diskursus ilmiah kontemporer menjadi langkah wajib jika ideologi bangsa ini ingin bergema di ruang publik kita.
Dengan penguatan dimensi kognitif ini, Pancasila tidak akan menjadi doktrin. Pada saat bersamaan, ia bisa meluaskan cakrawala wawasan anak bangsa agar tidak terpapar radikalisme.
Baca juga: Yudi Latif: Ada yang Lebih Gawat dari Komunisme...
Pada titik inilah keluasan pengetahuan Pancasila bisa memperkuat “keyakinan normatif” masyarakat atas ideologi nasionalnya ini.
Oleh karena itu, penguatan Pancasila perlu meletakkan diri pada “semangat reformasi”. Artinya, konstruksi pengetahuan dan praktik penguatannya pun harus direformasi.
Dalam upaya reformasi ini, pemijakan pada tradisi berpikir para pendiri bangsa wajib didahulukan.
Sebab, berdasarkan khazanah kebangsaan inilah Pancasila bisa diperkuat demi demokratisasi terus-menerus menuju struktur masyarakat berkeadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.