Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Refly Harun Nilai Kembali ke UUD 1945 adalah Kemunduran

Kompas.com - 13/08/2019, 10:15 WIB
Deti Mega Purnamasari,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Saat ini wacana tentang amandemen UUD 1945 kembali mengemuka dan menuai pro-kontra. Salah satu tujuan amandemen terbatas UUD 1945 adalah untuk mengembalikan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.

Sejumlah pihak mendorong agar UUD 1945 kembai ke naskah asli yang sesuai amanat proklamasi. Pengembalian UUD 1945 untuk menegaskan fungsi MPR seperti dulu.

Dalam naskah asli UUD 1945, Bab II Pasal 2 dicantumkan bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditambah utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Kemudian MPR juga dicantumkan agar bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara, serta segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.

Sementara dalam Pasal 3 dicantumkan bahwa MPR menetapkan UUD dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Kemudian dalam Bab III Pasal 6 disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dalam Pasal 7 disebutkan pula bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, kembali ke naskah asli UUD 1945 merupakan suatu kemunduran yang sangat jauh.

Baca juga: Menkuham Sebut Partai-partai Sepakat Amandemen UUD Terbatas pada GBHN

"Kalau kembali seperti dulu, kita mundur jauh ke belakang. Bung Karno saja sebagai Ketua PPKI mengatakan, yang namanya UU itu adalah UU sementara. Memang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tapi ketika pidato 18 Agustus beliau bilang itu UU sementara sehingga sebenarnya kembali ke UUD 45 ide yang buruk," terang Refly kepada Kompas.com, Selasa (13/8/2019).

Jika kembali lagi ke UUD 1945 naskah asli, Refly menuturkan, sama dengan membubarkan Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan beberapa lembaga lain yang dibentuk berdasarkan empat kali amandemen.

Termasuk juga tidak akan ada lagi Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung yang sudah empat kali diberlakukan di Indonesia.

Baca juga: Try Sutrisno Usul UUD 1945 Dikaji Ulang dan Presiden Dipilih MPR

Di era orde lama dan orde baru, kata dia, masyarakat Indonesia justru hidup di era yang penuh otoriterianisme.

Ia mencontohkan yang terjadi pada era Presiden Soekarno dan Gus Dur. Kuat dan lemhanya Presiden, menurut Refly, akan sangat tergantung dengan konstelasi politik.

"Kalau menguasai konstelasi politik jadi Presiden otoriter karena ada MPR lembaga tertinggi," terang dia.

"Kalau Presiden kuasai MPR maka Presiden kuat dan otoriter, tapi kalau tidak akan seperti Gus Dur dan Bung Karno, Presiden akan lemah dan mudah diberhentikan. Jadi ya, step back," lanjut dia.

Namun jika ada yang tetap ingin kembali ke orde lama atau orde baru, maka hal tersebut merupakan suatu kemunduran yang berdampak pada masa depan demokrasi Indonesia.

Baca juga: Wacana Kembali ke UUD 1945 dan Mengingat Lagi Alasan Perlunya Amandemen

Contoh lainnya yang pernah terjadi, yakni TNI bisa memiliki kursi di DPR. Hal tersebut, kata dia semakin menjelaskan bahwa sistem yang dianut adalah sistem otoriter.

Tidak hanya itu, anggota MPR pun separuhnya bukan dipilih tetapi diangkat oleh Presiden.

"Boleh saja utusan golongan dan daerah untuk melengkapi. Mereka yang diangkat itu adalah yang direkrut pemerintah sendiri dengan berbagai macam mekanisme, tidak demokratis," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com