Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Infeksi Demokrasi Pasca-Putusan MK

Kompas.com - 02/07/2019, 16:23 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


PUTUSAN Mahkmah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh permohonan dari kubu Prabowo-Sandi dalam sengketa perselisihan hasil suara Pilpres merupakan klimaks dari pertarungan legitimasi penyelenggaraan pilpres.

Di dalam dimensi legal, sengketa pilpres di MK merupakan final dari penyelesaian berbagai sengkarut selama pemilu 2019. Maka, puas atau tidak puas, suka atau tidak suka, putusan MK harus diterima. Sebuah koridor akhir di iklim demokrasi dalam konteks kontestasi memilih presiden.

Hal di atas merupakan konsekuensi dianutnya negara hukum demokratis (Pasal 1 ayat (2) dan (3)  UUD 1945) dan keberadaan MK sebagai pengawal konstitusi (the guardians of constitutions) yang tercermin pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya yang bersumber dari Pasal 24 C UUD 1945. Dengan begitu, eksistensi reformasi ketatanegaraan melembaga di dalam tubuh UUD 1945.

Tentu, agenda berikutnya adalah bagaimana melakukan rekonsiliasi sekaligus relaksasi kesitegangan yang selama ini menggerayangi sekujur tubuh pemilu.

Tidak dapat disangkal, pemilu telah usai, tinggal mengisi lembaran pasca-pemilu. Apalagi, bila mengikuti pola pikir filsuf Zizek, pemilu itu hanya cara menempati ruang atau tempat kosong. Bersifat temporal.

Yang seharusnya diisi rakyat namun karena keterbatasan, rakyat memilih representasinya menduduki ruang atau tempat kosong---yang dalam tradisi Indonesia---perlima tahun ruang kosong itu diisi kuasa lalu ditinjau ulang.

Maka, enerji yang terlalu dikuras sebatas pemilu tentu memakan ongkos terlalu mahal. Bila, selepas pemilu tidak ada upaya melembagakan demokrasi secara lebih berkualitas. Tulisan ini akan membincang skenario pasca-putusan MK di atas.

Koreksi demokrasi

Bagi penulis, sejarah demokrasi pasca-reformasi adalah soal narasi, mitos dan konsep absurdnya demokrasi. Atau sihir mimpi-mimpi rakyat berdaulat.

Kisah yang sesungguhnya, demokrasi menyangkut perebutan antar-elite atau pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk berbagi diantara mereka. Literatur menyebutnya oligarki.

Tentu kisah oligarki ini selalu ada modifikasi dari satu rezim pemerintah ke pemerintah lain. Namun esensinya tetap. Defisitnya substansi demokrasi.

Tragedi awal demokrasi dimulai dari dibajaknya ruang publik. Hannah Arendt memaknai ruang publik dalam dua pengertian yakni “ruang penampakan” dan “dunia bersama”.

Ruang penampakan adalah “segala sesuatu yang tampak di publik, dapat dilihat dan dapat didengar oleh siapapun dan berpeluang untuk terpublikasikan seluas-luasnya”.

Sedangkan ruang publik sebagai dunia bersama yaitu dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, yang berbeda dengan ruang privat (Eddie Sius Riyadi, 2008:10-11).

Pembajakan ruang publik dapat terjadi dalam tiga kondisi. Pertama, apabila tidak ada pembedaan dan kriteria jelas tentang yang publik dan yang privat.

Jika media cetak dan elektronik dikuasai segelintir elite korporasi lalu frekuensi publiknya dikapitalisasi dan didominasi sebesar-besarnya untuk mewartakan kepentingan elit pemilik korporasi media tersebut maka ruang publik nyata dibajak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com