JAKARTA, KOMPAS.com - Tim hukum calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin menilai, materi gugatan sengketa pilpres yang diajukan pemohon, berbasis pada bias anti-petahana.
Menurut tim hukum, pemohon sengaja membangun narasi bahwa calon presiden petahana bertindak curang.
Narasi kecurangan tersebut dapat dengan mudah disebarkan melalui media sosial.
Hal itu disampaikan dalam keterangan terkait atas gugatan pemohon yang dibacakan dalam sidang perselisihan hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Baca juga: Jawaban Tim Hukum Jokowi-Maruf soal Cuti Petahana dalam Gugatan di MK
"Dalil pemohon berbasis bias anti-petahana. Ini sebuah istilah yang pertama kali atau setidaknya banyak ditemukan dalam konteks politik di India, dengan mengeksploitasi sisi dan membangun narasi incumbent disadvantages," ujar anggota tim hukum Jokowi-Ma'ruf, I Wayan Sudirta.
Dalam permohonan, tim hukum calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menuduh pasangan calon 01 yang merupakan petahana terindikasi penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, penyalahgunaan APBN dan program pemerintah, serta penyalahgunaan anggaran BUMN.
Menurut Sidarta, dalam konteks ini, kelemahan apa pun dalam pemerintahan dijadikan "peluru" bagi penantang untuk mendegradasi kapasitas petahana dengan menciptakan narasi besar berupa disasosiasi atau keterputusan program pemerintah kepada petahana.
Baca juga: Kuasa Hukum Jokowi-Maruf Sebut Pihak Prabowo Menentang Perintah Majelis Hakim MK
Sidarta mengatakan, cara ini semakin menemukan momentumnya saat ini, ketika arus komunikasi di media sosial semakin cepat dan luas yang menimbulkan fenomena penyebaran hoaks dan berkembangnya fenomena post truth.
"Seluruh dalil pemohon berupa contoh yang disebutnya sebagai rangkaian pelanggaran dan kecurangan penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, serta penyalahgunaan APBN dan program pemerintah adalah tidak benar," kata Sidarta.