Beberapa temannya dikatakan turut membantu, misalnya dengan mencetak alat peraga kampanye (APK) hingga membelikan tiket pesawat dari tempat tinggalnya di Jakarta untuk menuju dapilnya.
Untuk menghemat biaya tersebut, kampanye bersama caleg lainnya hingga media sosial digunakan sebagai alternatif.
Salah satu kenangan yang ia miliki selama berkampanye yaitu ketika ada orang yang menyeletuk dan meminta uang jika ingin dipilih.
"Ketika saya lagi sosialisasi, memperkenalkan diri, tiba-tiba ada yang nyeletuk, 'Bapak mau kita pilih, berapa mau kasih uang ke kita', saya sih ketawa saja, itu terang-terangan," tutur Afriansyah.
Baca juga: Cerita Caleg: Dian Fatwa, Wasiat dari Ayah Menuju ke Senayan...
Menurutnya, praktik-praktik jual beli suara tersebut memang benar terjadi di lapangan.
Bahkan, ia mengungkapkan informasi yang ia terima perihal tarif praktik jual beli suara tersebut di dapilnya.
"Kalau mau tahu ini, 1 suara untuk kabupatem/kota itu bisa Rp 250.000. Mereka butuh 3.000 suara, kali sekian ratus ribu sudah Rp 600 juta untuk menjadi anggota DPRD kabupaten/kota," terang dia.
Baca juga: Cerita Caleg: Sarifuddin Sudding, dari Advokat Menuju ke Senayan
"Untuk menjadi anggota DPRD provinsi, nilainya Rp 100.000 per provinsi, tapi dibutuhkan 15.000 suara. Untuk DPR RI, itu mereka minta Rp 25.000-30.000 per kepala, tapi dibutuhkan 100.000-an suara," lanjutnya.
Menurutnya, hal-hal tersebut yang harus diperbaiki. Selama berkampanye, ia mengaku sekaligus memberikan pendidikan politik bahwa memilih seorang caleg bukan berdasarkan uang. Melainkan, kinerja caleg tersebut dan bagaimana orang itu dapat merepresentasikan dapilnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.