Ia telah berada di bawah naungan PBB sejak partai tersebut berdiri pada tahun 1998. Kini, Afriansyah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PBB.
Pemilu kali ini pun menjadi kali keempat baginya maju sebagai caleg dari PBB.
Kali ini, ia maju di daerah pemilihan Sumatera Selatan I, yang meliputi Kota Palembang, Musi Rawas, Muratara, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Lubuk Linggau.
Ini yang ia lakukan selama kampanye
Afriansyah memilih metode kampanye dengan turun langsung ke lapangan. Ia sekaligus melakukan berbagai kegiatan dan menyampaikan program partainya.
"Utamanya bergerak ke bawah, ke masyarakat, pertama menyosialisasikan diri kita, sekaligus menyampaikan program PBB yang sifatnya kemasyarakatan, seperti bakti sosial," ujar dia saat diwawancarai oleh Kompas.com, Jumat (12/4/2019).
"Turun langsung ke masyarakat, bertatap muka dengan masyarakat, mengadakan pengobatan gratis di dapil saya, memberikan penyuluhan mengenai pendidikan, kesehatan," sambung dia.
Dalam pencalonannya kali ini, ia pun menggunakan "aset" PBB di dapilnya, seperti kader partai di DPRD tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Ia juga berkampanye bersama caleg lainnya.
Berapa biaya yang sudah ia keluarkan?
Bukan pertama kali maju sebagai caleg, Afriansyah pun mengaku sudah memiliki strategi khusus perihal biaya kampanye.
Ia mengaku tidak ingin mengeluarkan uang secara berlebihan pada Pemilu 2019 ini. Menurutnya, ketika ia mengeluarkan jumlah yang besar untuk dana kampanye, belum tentu rakyat akan memilihnya.
"Saya tahun ini lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya karena sudah punya pengalaman, jadi saya tidak mau jor-joran. Ternyata setelah jor-joran masyarakat enggak milih," ungkapnya.
Strategi yang ia terapkan untuk menghemat biaya kampanye adalah dengan mendengarkan kebutuhan masyarakat.
Dengan begitu, kampanye yang ia lakukan akan efektif dan tepat sasaran.
Total yang telah ia keluarkan untuk mendanai kampanyenya adalah sekitar Rp 500 juta. Jumlah tersebut berasal dari kantong pribadinya.
"Untuk konsolidasi, pertemuan, rapat-rapat. Enggak sampai Rp 500 juta," ungkap dia.
Beberapa temannya dikatakan turut membantu, misalnya dengan mencetak alat peraga kampanye (APK) hingga membelikan tiket pesawat dari tempat tinggalnya di Jakarta untuk menuju dapilnya.
Untuk menghemat biaya tersebut, kampanye bersama caleg lainnya hingga media sosial digunakan sebagai alternatif.
Dimintai uang oleh konstituen secara terang-terangan
Salah satu kenangan yang ia miliki selama berkampanye yaitu ketika ada orang yang menyeletuk dan meminta uang jika ingin dipilih.
"Ketika saya lagi sosialisasi, memperkenalkan diri, tiba-tiba ada yang nyeletuk, 'Bapak mau kita pilih, berapa mau kasih uang ke kita', saya sih ketawa saja, itu terang-terangan," tutur Afriansyah.
Menurutnya, praktik-praktik jual beli suara tersebut memang benar terjadi di lapangan.
Bahkan, ia mengungkapkan informasi yang ia terima perihal tarif praktik jual beli suara tersebut di dapilnya.
"Kalau mau tahu ini, 1 suara untuk kabupatem/kota itu bisa Rp 250.000. Mereka butuh 3.000 suara, kali sekian ratus ribu sudah Rp 600 juta untuk menjadi anggota DPRD kabupaten/kota," terang dia.
"Untuk menjadi anggota DPRD provinsi, nilainya Rp 100.000 per provinsi, tapi dibutuhkan 15.000 suara. Untuk DPR RI, itu mereka minta Rp 25.000-30.000 per kepala, tapi dibutuhkan 100.000-an suara," lanjutnya.
Menurutnya, hal-hal tersebut yang harus diperbaiki. Selama berkampanye, ia mengaku sekaligus memberikan pendidikan politik bahwa memilih seorang caleg bukan berdasarkan uang. Melainkan, kinerja caleg tersebut dan bagaimana orang itu dapat merepresentasikan dapilnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/04/13/18000041/cerita-caleg--sekjen-pbb-buka-bukaan-soal-tarif-jual-beli-suara-di-dapilnya