Sementara, pejabat pemerintah maupun lembaga negara tidak masuk dalam kategori ini.
"Pemaksaan penggunaan pasal ini adalah upaya kriminalisasi pada Robertus Robet," ujar Sustira.
Ia menilai, menjerat Robertus Robet dengan pasal tentang berita bohong atau Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tidak tepat.
Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 15 berisi tentang pidana menyiarkan berita dan pemberitaan bohong, mempidana perbuatan dengan 3 unsur penting, yaitu harus ada berita dan pemberitaan di mana ujaran itu harus memiliki informasi di dalamnya, kedua, ada unsur keonaran di masyarakat, ketiga, patut menduga bahwa berita dan atau pemberitaan itu bohong.
Baca juga: PSI Minta Polisi Bebaskan Robertus Robet dari Segala Tuduhan Pidana
"Keonaran masyarakat" dalam penjelasan pasal itu adalah lebih hebat daripada kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.
"Dalam konteks ini, refleksi dari akademisi Robet tersebut sangat tidak pas dikategorikan menyebabkan keonaran karena isu dwifungsi TNI tersebutlah yang menjadi penyebab keonaran di masyarakat dengan dibuktikan pada banyaknya penolakan rencana diaktifkannya kembali dwifungsi TNI," ujar Sustira.
Sustira menambahkan, tak ada nilai informasi dari ujaran Robertus Robet karena apa yang disampaikannya atau dalam hal ini nyanyian, telah lama digunakan dalam pergerakan mahasiswa.
Oleh karena itu, tidak relevan lagi menyebutkan apakah nyanyian itu berita bohong atau tidak.
Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia juga dinilai tidak tepat untuk menjerat Robertus Robet.
Baca juga: Penangkapan Robertus Robet Dinilai Tak Berdasar dan Cederai Demokrasi
Sebab, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 disebutkan bahwa penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.