Judilhery Justam berpasangan dengan Armein Daulay mengajukan dirinya sebagai calon pasangan presiden dan wakil presiden sebagai penantang Soeharto. Langkah ini untuk meredam kekuasaan Soerharto.
Pencalonan telah disusun dengan matang dan disebarkan ke publik melalui beberapa media. Akibatnya, Soeharto marah dan bertindak.
Pasangan itu dibawa polisi dan meringkuk dalam penjara. Justam juga kehilangan izin praktik dokternya akibat menentang penguasa. Namun, mereka tetap bisa menjalani profesi lainnya.
Selain aktivis Judilhery Justam dan Armein Daulay, ada juga sosok lain yang dicalonkan menjadi calon presiden pasca-Malari 1974, yakni Ali Sadikin.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pernah dicalonkan melalui petisi yang dilakukan oleh Dipo Alam dan Bambang Sulistomo, saat itu merupakan aktivis mahasiswa.
Dilansir dari Harian Kompas 22 Juni 1977, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo mengajukan calon yang diikutsertakan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR, Maret 1978.
Petisi itu tertanggal 20 Juni 1977 dan dikirimkan langsung kepada pimpinan DPR dan MPR, DPRD DKI Jaya, Kaskopkamtib, Partai Golkar, ABRI, dan Lembaga Bantuan Hukum.
Akhirnya, petisi ini dibacakan di kafetaria Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dalam petisi itu dikemukan bahwa para pemuda ingin menyalurkan keinginan rakyat agar Letjen Purn Marinir H Ali Sadikin masuk dalam kontes demokrasi.
Mendengar petisi itu, Soeharto marah besar dan menganggap itu aksi subversif.
Baca juga: AM Fatwa, dari Tahanan Kasus Subversif hingga Kenangan Akhir Hayatnya
Memasuki Pemilu 1997 di era akhir Orde Baru, masyarakat ramai membicarakan calon presiden dan wakil presiden.
Banyak pendapat dilontarkan di dalam media massa, ada pendapat yang menyatakan bahwa membicarakan dan menunjuk orang tertentu sekarang sebagai calon presiden dan calon wakil presiden karena tak puas dengan kepemimpinan Soeharto.
Salah satu politisi yang gencar melakukan penolakan terhadap Pemerintah Soeharto ketika itu adalah Sri Bintang Pamungkas. Dia adalah anggota legislatif dari PPP, padahal bukan kader asli dari partai yang saat itu berlambang bintang.
Tak lama setelah setelah itu, dia mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Maka banyak anggapan yang merujuk dirinya berambisi menjadi presiden sebagai pesaing Soeharto.
Dilansir dari Harian Kompas 12 Juni 1996, Dengan mendirikan partai politik baru, bahkan menjabat selaku Ketua Umum Sementara PUDI, ia berkata, "Banyak orang mengira saya berambisi menjadi presiden."
Pada 11 Oktober 1996, suaranya yang lantang menggema di gedung Indonesia Petroleum Club, Jakarta. Sri Bintang saat itu menantang Soeharto untuk berani menggelar pemilihan presiden secara langsung.