Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Para Capres Alternatif Diusung untuk Melawan Soeharto...

Kompas.com - 08/01/2019, 17:17 WIB
Aswab Nanda Pratama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa hari terakhir, dunia maya dihebohkan dengan munculnya pasangan calon presiden-calon wakil presiden fiktif, Nurhadi - Aldo. Capres dan cawapres dengan nomor urut 10 ini diusung dari koalisi, yang juga fiktif, "Koalisi Tronjal-Tronjol Maha Asyik".

Pasangan capres dan cawapres Nurhadi-Aldo tentunya hanya sekadar guyonan. Tak ada maksud buruk atau niat memperkeruh suasana menjelang Pemilu Presiden 2019.

Sebaliknya, kehadiran Nurhadi-Aldo diharapkan dapat mendinginkan suasana politik yang saat ini sedang panas akibat persaingan dua kubu dalam Pilpres 2019.

Nurhadi merupakan tukang pijat refleksi di Pasar Brayung, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sedangkan Aldo hanyalah tokoh fiktif yang dibuat mendampingi Nuhadi dalam guyonan ini.

Kutipan lucu kedua orang itu sering berlintasan di linimasa media sosial, yang tentunya menimbulkan gelak tawa banyak orang.

Meski kemunculan Nurhadi-Aldo dianggap sebagai satire politik, namun ada juga yang mengaitkannya sebagai bentuk kemuakan warganet terhadap permusuhan dua kubu yang bersaing dalam Pilpres 2019.

Nurhadi-Aldo dianggap muncul sebagai "calon alternatif", yang dinilai keberadaannya memang diperlukan untuk mengurangi ketegangan politik. 

Meski begitu, kondisi berbeda dialami saat Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru. Saat kekuasaan Presiden Soeharto terasa begitu absolut, munculnya "calon alternatif" langsung dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan upaya menegakkan demokrasi.

[Artikel mengenai akhir berkuasanya Presiden Soeharto dapat dibaca dalam tautan ini, VIK: Kejatuhan (daripada) Soeharto]

Walaupun kenyataannya tak ada "calon alternatif" yang berhasil maju, namun sosok-sosok ini cukup membuat gempar kondisi perpolitikan di era Orde Baru.

Berikut sejumlah sosok yang pernah ditampilkan sebagai "alternatif" pada masa Orde Baru, dilansir dari Harian Kompas:

1. Judilhery Justam dan Armein Daulay

Gaya kepemimpinan Soeharto pada era 1970-an banyak melahirkan kritikan. Beberapa mahasiswa berdemo dan menyuarakan aksinya ke jalan ketika Indoenesia kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei pada Januari 1974.

Aksi tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan Soeharto yang dianggap terlalu memberi ruang untuk investasi asing, khususnya Jepang. Akibatnya, pecahlah peristiwa Malapetakan 15 Januari 1974 atau Malari yang menyebabkan kerusuhan.

Dalam peristiwa tersebut muncul sejumkah nama aktivis seperti Judilhery Justam yang dikenal merupakan anak seorang anggota TNI. Aksi beraninya bersama Hariman Siregar dan rekan mahasiswa lain membuat dia menjadi tokoh yang disegani.

Memasuki Pemilu 1978, banyak stigma di kalangan mahasiswa bahwa yang pasti menang adalah Golkar dan Soeharto. Muncul inisiatif dari Justam untuk melakukan aksi baru.

Judilhery Justam berpasangan dengan Armein Daulay mengajukan dirinya sebagai calon pasangan presiden dan wakil presiden sebagai penantang Soeharto. Langkah ini untuk meredam kekuasaan Soerharto.

Pencalonan telah disusun dengan matang dan disebarkan ke publik melalui beberapa media. Akibatnya, Soeharto marah dan bertindak.

Pasangan itu dibawa polisi dan meringkuk dalam penjara. Justam juga kehilangan izin praktik dokternya akibat menentang penguasa. Namun, mereka tetap bisa menjalani profesi lainnya.

2. Ali Sadikin

Pendiri Petisi 50 yang juga mantan Gubenur DKI Jakarta Ali Sadikin saat berada di rumahnya (15/5/2007). Ali Sadikin wafat karena sakit, Selasa (20/5), pukul 18.30 di Singapura.
PERSDA/BIAN HARNANSA Pendiri Petisi 50 yang juga mantan Gubenur DKI Jakarta Ali Sadikin saat berada di rumahnya (15/5/2007). Ali Sadikin wafat karena sakit, Selasa (20/5), pukul 18.30 di Singapura.
Selain aktivis Judilhery Justam dan Armein Daulay, ada juga sosok lain yang dicalonkan menjadi calon presiden pasca-Malari 1974, yakni Ali Sadikin.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pernah dicalonkan melalui petisi yang dilakukan oleh Dipo Alam dan Bambang Sulistomo, saat itu merupakan aktivis mahasiswa.

Dilansir dari Harian Kompas 22 Juni 1977, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo mengajukan calon yang diikutsertakan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR, Maret 1978.

Petisi itu tertanggal 20 Juni 1977 dan dikirimkan langsung kepada pimpinan DPR dan MPR, DPRD DKI Jaya, Kaskopkamtib, Partai Golkar, ABRI, dan Lembaga Bantuan Hukum.

Akhirnya, petisi ini dibacakan di kafetaria Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dalam petisi itu dikemukan bahwa para pemuda ingin menyalurkan keinginan rakyat agar Letjen Purn Marinir H Ali Sadikin masuk dalam kontes demokrasi.

Mendengar petisi itu, Soeharto marah besar dan menganggap itu aksi subversif.

Baca juga: AM Fatwa, dari Tahanan Kasus Subversif hingga Kenangan Akhir Hayatnya

3. Sri Bintang Pamungkas

Memasuki Pemilu 1997 di era akhir Orde Baru, masyarakat ramai membicarakan calon presiden dan wakil presiden.

Banyak pendapat dilontarkan di dalam media massa, ada pendapat yang menyatakan bahwa membicarakan dan menunjuk orang tertentu sekarang sebagai calon presiden dan calon wakil presiden karena tak puas dengan kepemimpinan Soeharto.

Salah satu politisi yang gencar melakukan penolakan terhadap Pemerintah Soeharto ketika itu adalah Sri Bintang Pamungkas. Dia adalah anggota legislatif dari PPP, padahal bukan kader asli dari partai yang saat itu berlambang bintang.

Tak lama setelah setelah itu, dia mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Maka banyak anggapan yang merujuk dirinya berambisi menjadi presiden sebagai pesaing Soeharto.

Dilansir dari Harian Kompas 12 Juni 1996, Dengan mendirikan partai politik baru, bahkan menjabat selaku Ketua Umum Sementara PUDI, ia berkata, "Banyak orang mengira saya berambisi menjadi presiden."

Pada 11 Oktober 1996, suaranya yang lantang menggema di gedung Indonesia Petroleum Club, Jakarta. Sri Bintang saat itu menantang Soeharto untuk berani menggelar pemilihan presiden secara langsung.

Dia kecewa pada pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimonopoli oleh Soeharto selama puluhan tahun.

Sri Bintang Pamungkas kemudian dipenjara Rezim Orde Baru karena dianggap melawan pemerintah. Namun, di "hotel prodeo" dirinya tetap melakukan perlawanan terhadap Soeharto.

4. Megawati Soekarnoputri

Keluarga korban tragedi 27 Juli bersama massa dari Forum Komunikasi Kerukunan 124, Rabu (27/7/2011), mendatangi bekas kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, untuk memperingati 15 tahun peristiwa tersebut. Mereka mendesak Presiden menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tragedi 27 Juli 1996. KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Keluarga korban tragedi 27 Juli bersama massa dari Forum Komunikasi Kerukunan 124, Rabu (27/7/2011), mendatangi bekas kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, untuk memperingati 15 tahun peristiwa tersebut. Mereka mendesak Presiden menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tragedi 27 Juli 1996.
Jelang Pemilu 1997, sosok Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru.

Kondisi ini kemudian menyebabkan terjadinya konflik internal di PDI, hingga terjadinya kerusuhan 27 Juli 1996.

Kerusuhan ini terjadi karena kelompok pro Megawati menguasai DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kelompok yang mengaku pendukung Soerjadi kemudian menyerang dan berusaha menguasai DPP PDI.

Setelah peristiwa 27 Juli, perlawanan terhadap Soeharto semakin masif. Pendukung PDI yang kemudian bergabung dengan pendukung Partai Persatuan Pembangunan yang jenuh dengan kepemimpinan Soeharto menggaungkan Mega-Bintang pada Pemilu 1997.

Pendukung Megawati kemudian "beralih" dan mendukung PPP sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto. Saat itu PPP memang berlambang bintang.

Selain itu, ada juga yang memaknai Mega-Bintang sebagai upaya merekatkan Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, sebagai pasangan alternatif melawan Soeharto dalam Sidang Umum MPR, pasca-Pemilu 1997.

Namun, upaya ini gagal setelah Golkar memenangkan Pemilu 1997. Setelah itu, Soeharto juga kembali terpilih sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1998.

Setelah Soeharto kembali terpilih, perlawanan semakin masif. Mahasiswa kemudian turun ke jalan. Gelombang demonstrasi semakin besar hingga akhirnya menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998.

Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Menteri ESDM Pastikan Divestasi Saham PT Freeport Akan Sepaket dengan Perpanjangan Kontrak Hingga 2061

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com