Salin Artikel

Saat Para Capres Alternatif Diusung untuk Melawan Soeharto...

Pasangan capres dan cawapres Nurhadi-Aldo tentunya hanya sekadar guyonan. Tak ada maksud buruk atau niat memperkeruh suasana menjelang Pemilu Presiden 2019.

Sebaliknya, kehadiran Nurhadi-Aldo diharapkan dapat mendinginkan suasana politik yang saat ini sedang panas akibat persaingan dua kubu dalam Pilpres 2019.

Nurhadi merupakan tukang pijat refleksi di Pasar Brayung, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Sedangkan Aldo hanyalah tokoh fiktif yang dibuat mendampingi Nuhadi dalam guyonan ini.

Kutipan lucu kedua orang itu sering berlintasan di linimasa media sosial, yang tentunya menimbulkan gelak tawa banyak orang.

Meski kemunculan Nurhadi-Aldo dianggap sebagai satire politik, namun ada juga yang mengaitkannya sebagai bentuk kemuakan warganet terhadap permusuhan dua kubu yang bersaing dalam Pilpres 2019.

Nurhadi-Aldo dianggap muncul sebagai "calon alternatif", yang dinilai keberadaannya memang diperlukan untuk mengurangi ketegangan politik. 

Meski begitu, kondisi berbeda dialami saat Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru. Saat kekuasaan Presiden Soeharto terasa begitu absolut, munculnya "calon alternatif" langsung dimaknai sebagai bentuk perlawanan dan upaya menegakkan demokrasi.

[Artikel mengenai akhir berkuasanya Presiden Soeharto dapat dibaca dalam tautan ini, VIK: Kejatuhan (daripada) Soeharto]

Walaupun kenyataannya tak ada "calon alternatif" yang berhasil maju, namun sosok-sosok ini cukup membuat gempar kondisi perpolitikan di era Orde Baru.

Berikut sejumlah sosok yang pernah ditampilkan sebagai "alternatif" pada masa Orde Baru, dilansir dari Harian Kompas:

1. Judilhery Justam dan Armein Daulay

Gaya kepemimpinan Soeharto pada era 1970-an banyak melahirkan kritikan. Beberapa mahasiswa berdemo dan menyuarakan aksinya ke jalan ketika Indoenesia kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei pada Januari 1974.

Aksi tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan mahasiswa terhadap kebijakan Soeharto yang dianggap terlalu memberi ruang untuk investasi asing, khususnya Jepang. Akibatnya, pecahlah peristiwa Malapetakan 15 Januari 1974 atau Malari yang menyebabkan kerusuhan.

Dalam peristiwa tersebut muncul sejumkah nama aktivis seperti Judilhery Justam yang dikenal merupakan anak seorang anggota TNI. Aksi beraninya bersama Hariman Siregar dan rekan mahasiswa lain membuat dia menjadi tokoh yang disegani.

Memasuki Pemilu 1978, banyak stigma di kalangan mahasiswa bahwa yang pasti menang adalah Golkar dan Soeharto. Muncul inisiatif dari Justam untuk melakukan aksi baru.

Judilhery Justam berpasangan dengan Armein Daulay mengajukan dirinya sebagai calon pasangan presiden dan wakil presiden sebagai penantang Soeharto. Langkah ini untuk meredam kekuasaan Soerharto.

Pencalonan telah disusun dengan matang dan disebarkan ke publik melalui beberapa media. Akibatnya, Soeharto marah dan bertindak.

Pasangan itu dibawa polisi dan meringkuk dalam penjara. Justam juga kehilangan izin praktik dokternya akibat menentang penguasa. Namun, mereka tetap bisa menjalani profesi lainnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut pernah dicalonkan melalui petisi yang dilakukan oleh Dipo Alam dan Bambang Sulistomo, saat itu merupakan aktivis mahasiswa.

Dilansir dari Harian Kompas 22 Juni 1977, Dipo Alam dan Bambang Sulistomo mengajukan calon yang diikutsertakan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada Sidang Umum MPR, Maret 1978.

Petisi itu tertanggal 20 Juni 1977 dan dikirimkan langsung kepada pimpinan DPR dan MPR, DPRD DKI Jaya, Kaskopkamtib, Partai Golkar, ABRI, dan Lembaga Bantuan Hukum.

Akhirnya, petisi ini dibacakan di kafetaria Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dalam petisi itu dikemukan bahwa para pemuda ingin menyalurkan keinginan rakyat agar Letjen Purn Marinir H Ali Sadikin masuk dalam kontes demokrasi.

Mendengar petisi itu, Soeharto marah besar dan menganggap itu aksi subversif.

3. Sri Bintang Pamungkas

Memasuki Pemilu 1997 di era akhir Orde Baru, masyarakat ramai membicarakan calon presiden dan wakil presiden.

Banyak pendapat dilontarkan di dalam media massa, ada pendapat yang menyatakan bahwa membicarakan dan menunjuk orang tertentu sekarang sebagai calon presiden dan calon wakil presiden karena tak puas dengan kepemimpinan Soeharto.

Salah satu politisi yang gencar melakukan penolakan terhadap Pemerintah Soeharto ketika itu adalah Sri Bintang Pamungkas. Dia adalah anggota legislatif dari PPP, padahal bukan kader asli dari partai yang saat itu berlambang bintang.

Tak lama setelah setelah itu, dia mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Maka banyak anggapan yang merujuk dirinya berambisi menjadi presiden sebagai pesaing Soeharto.

Dilansir dari Harian Kompas 12 Juni 1996, Dengan mendirikan partai politik baru, bahkan menjabat selaku Ketua Umum Sementara PUDI, ia berkata, "Banyak orang mengira saya berambisi menjadi presiden."

Pada 11 Oktober 1996, suaranya yang lantang menggema di gedung Indonesia Petroleum Club, Jakarta. Sri Bintang saat itu menantang Soeharto untuk berani menggelar pemilihan presiden secara langsung.

Dia kecewa pada pemilihan presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dimonopoli oleh Soeharto selama puluhan tahun.

Sri Bintang Pamungkas kemudian dipenjara Rezim Orde Baru karena dianggap melawan pemerintah. Namun, di "hotel prodeo" dirinya tetap melakukan perlawanan terhadap Soeharto.

Kondisi ini kemudian menyebabkan terjadinya konflik internal di PDI, hingga terjadinya kerusuhan 27 Juli 1996.

Kerusuhan ini terjadi karena kelompok pro Megawati menguasai DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kelompok yang mengaku pendukung Soerjadi kemudian menyerang dan berusaha menguasai DPP PDI.

Setelah peristiwa 27 Juli, perlawanan terhadap Soeharto semakin masif. Pendukung PDI yang kemudian bergabung dengan pendukung Partai Persatuan Pembangunan yang jenuh dengan kepemimpinan Soeharto menggaungkan Mega-Bintang pada Pemilu 1997.

Pendukung Megawati kemudian "beralih" dan mendukung PPP sebagai bentuk perlawanan terhadap Soeharto. Saat itu PPP memang berlambang bintang.

Selain itu, ada juga yang memaknai Mega-Bintang sebagai upaya merekatkan Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, sebagai pasangan alternatif melawan Soeharto dalam Sidang Umum MPR, pasca-Pemilu 1997.

Namun, upaya ini gagal setelah Golkar memenangkan Pemilu 1997. Setelah itu, Soeharto juga kembali terpilih sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1998.

Setelah Soeharto kembali terpilih, perlawanan semakin masif. Mahasiswa kemudian turun ke jalan. Gelombang demonstrasi semakin besar hingga akhirnya menjatuhkan Soeharto pada Mei 1998.

https://nasional.kompas.com/read/2019/01/08/17174021/saat-para-capres-alternatif-diusung-untuk-melawan-soeharto

Terkini Lainnya

Wakil Ketua DPR Akui Revisi UU Polri-TNI Perluasan Wewenang tetapi Terbatas

Wakil Ketua DPR Akui Revisi UU Polri-TNI Perluasan Wewenang tetapi Terbatas

Nasional
Pansel Capim KPK Akan Undang Pemred hingga Aktivis untuk Serap Aspirasi

Pansel Capim KPK Akan Undang Pemred hingga Aktivis untuk Serap Aspirasi

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Sepaku Semoi di IKN Senilai Rp 836 Miliar

Jokowi Resmikan Bendungan Sepaku Semoi di IKN Senilai Rp 836 Miliar

Nasional
Muhammadiyah: Jemaah Tanpa Visa Haji Ibadahnya Sah, tapi Tak Dapat Pahala

Muhammadiyah: Jemaah Tanpa Visa Haji Ibadahnya Sah, tapi Tak Dapat Pahala

Nasional
Budi Djiwandono-Kaesang pada Pilkada Jakarta, Dasco: Cek Ombak

Budi Djiwandono-Kaesang pada Pilkada Jakarta, Dasco: Cek Ombak

Nasional
Laporan BPK 2021, Ada Masalah Data 247.000 Peserta Tapera Belum Mutakhir

Laporan BPK 2021, Ada Masalah Data 247.000 Peserta Tapera Belum Mutakhir

Nasional
Gugus Tugas Sinkronisasi Tidak Cerminkan Komposisi Kabinet Prabowo-Gibran

Gugus Tugas Sinkronisasi Tidak Cerminkan Komposisi Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Gerindra Akan Duetkan Kader dengan Ridwan Kamil pada Pilkada Jakarta

Gerindra Akan Duetkan Kader dengan Ridwan Kamil pada Pilkada Jakarta

Nasional
Bersinergi dengan IJN Malaysia, Holding RS BUMN Komitmen Tingkatkan Kualitas Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan

Bersinergi dengan IJN Malaysia, Holding RS BUMN Komitmen Tingkatkan Kualitas Pendidikan Kedokteran dan Kesehatan

Nasional
Datang ke Papua, Wapres: Saya Ingin Pastikan Pembangunan Berjalan dengan Baik

Datang ke Papua, Wapres: Saya Ingin Pastikan Pembangunan Berjalan dengan Baik

Nasional
Tak Mau Asal Terima Tawaran Kelola Tambang, Muhammadiyah: Kami Ukur Kemampuan Dulu...

Tak Mau Asal Terima Tawaran Kelola Tambang, Muhammadiyah: Kami Ukur Kemampuan Dulu...

Nasional
Fraksi PDI-P Janji Bakal Kritis Sikapi Revisi UU Polri

Fraksi PDI-P Janji Bakal Kritis Sikapi Revisi UU Polri

Nasional
Muhammadiyah Tak Mau Tergesa-gesa Sikapi Izin Kelola Tambang untuk Ormas

Muhammadiyah Tak Mau Tergesa-gesa Sikapi Izin Kelola Tambang untuk Ormas

Nasional
Jokowi Resmikan Persemaian Mentawir di Kalimantan Timur

Jokowi Resmikan Persemaian Mentawir di Kalimantan Timur

Nasional
DPR Setujui Calvin Verdonk dan Jens Raven Berstatus WNI

DPR Setujui Calvin Verdonk dan Jens Raven Berstatus WNI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke