Pada Juli 2018, KPK lagi-lagi melakukan OTT terhadap anggota DPR. Kali ini targetnya adalah mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Politisi Partai Golkar itu ditangkap di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham, kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan.
Satu hari setelah penangkapan, KPK menetapkan Eni sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt.
Dalam persidangan, Eni didakwa menerima suap Rp 4,7 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd.
Baca juga: Saksi Mengaku Tak Tahu soal Pemberian Uang kepada Eni Maulani Saragih
Uang tersebut diberikan agar Eni membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Selain itu, Eni juga didakwa menerima gratifikasi Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura. Gratifikasi pertama diberikan Direktur PT Smelting Prihadi Santoso sebesar Rp 250 juta.
Dengan uang itu, Prihadi meminta Eni memfasilitasi pertemuan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar PT Smelting bisa impor limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3).
Gratifikasi berikutnya dari Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) Herwin Tanuwidjaja sebesar 40.000 dollar Singapura dan Rp 100 juta.
Baca juga: Staf Ahli Eni Maulani Mengaku Terima Uang Sebanyak 4 Kali dari Sekretaris Johannes Kotjo
Eni meminta uang itu atas jasanya membantu Herwin dan Prihadi bertemu dengan Kementerian LHK.
Gratifikasi ketiga diterima dari pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal, Samin Tan, sebesar Rp 5 miliar.
Uang itu agar Eni membantu masalah pemutusan perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara Generasi 3 di Kalimantan Tengah.
Terakhir, Eni juga menerima gratifikasi dari Presiden Direktur PT Isargas, Iswan Ibrahim, sebesar Rp 250 juta.
Eni meminta uang itu untuk kebutuhan suaminya yang maju dalam pemilihan kepala daerah.
Penetapan ini merupakan hasil pengembangan KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Taufik diduga menerima hadiah atau janji terkait dengan perolehan anggaran DAK fisik pada perubahan APBN Tahun Anggaran 2016.
Baca juga: Beda Pernyataan Pimpinan DPR dan Ketum PAN soal Surat Pergantian Taufik Kurniawan
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Taufik sempat "menghilang". Dia tidak tampak di kompleks parlemen dan tidak memenuhi panggilan pemeriksaan oleh KPK sebanyak dua kali.
Ia akhirnya muncul memenuhi panggilan pemeriksaansebagai tersangka oleh KPK pada 2 November 2018. Setelah pemeriksaan itu, Taufik langsung ditahan.
Mengenai kasusnya, Taufik diduga terlibat dalam korupsi DAK Kabupaten Kebumen.
Setelah dilantik sebagai Bupati Kebumen, M Yahya Fuad diduga melakukan pendekatan pada sejumlah pihak termasuk Taufik untuk mengurus anggaran DAK Kabupaten Kebumen.
Pendekatan itu dilakukan mengingat posisi Taufik yang menjadi anggota sekaligus pimpinan DPR.
Baca juga: KPK Perpanjang Masa Penahanan Taufik Kurniawan
Saat itu ada rencana alokasi DAK senilai Rp 100 miliar. Diduga, pengurusan DAK ini mematok fee sekitar 5 persen dari nilai total anggaran DAK yang akan dialokasikan untuk Kabupaten Kebumen.
Dalam pengesahan APBN perubahan tahun 2016, Kabupaten Kebumen mendapatkan alokasi DAK tambahan sekitar Rp 93,37 miliar.
DAK itu rencananya akan digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan di Kebumen.
Melalui penyerahan fee yang sudah dilakukan bertahap, Taufik diduga menerima sekitar Rp 3,65 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.