"Tentu kami menolak itu. Apabila itu diakomodasi, artinya partai politik menjadi benalu karena menumpang hidup pada negara lewat APBN," ujar Arif.
Ia pun menyebut, kepemimpinan partai politik di Indonesia saat ini masih bersifat oligarki. Dengan demikian, patut diduga lembaga negara legislatif tengah disusupi oleh kepentingan kelompok politik tertentu hanya demi mendapatkan keuntungan.
Arif juga menduga kuat bahwa usulan Komisi II DPR RI itu adalah bentuk bargaining politik ke pemerintah.
Arif menjelaskan, pola kemunculan usulan ini serupa dengan usulan pembangunan gedung baru DPR RI dan dana aspirasi, beberapa waktu lalu. Muncul ke permukaan, sempat meredup, lalu muncul kembali beberapa waktu kemudian hingga akhirnya disetujui pemerintah.
"Usul dana saksi dibiayai oleh APBN ini kan muncul tahun 2014, redup, kemudian muncul lagi 2017. Berulang terus. Kalau kita perhatikan, pola isunya sama seperti pembangunan gedung baru DPR RI dan dana aspirasi yang dulu sempat mencuat jadi kontroversi. Pada akhirnya kan gol," ujar Arif.
"Jadi, bukannya enggak mungkin suatu hari nanti akan diakomodasi pemerintah. Karena biasanya partai-partai akan mencoba melakukan bargaining dengan pemerintah sampai pemerintah merasa terpojok atas kasus tertentu, terus akhirnya dibarter," lanjut dia.
Baca juga: Usulan Saksi Pemilu Dibiayai APBN Diduga Bargaining Politik
Kondisi demikian, lanjut Arif, membawa dampak negatif bagi efektivitas pemerintahan. Sebab, secara psikologis pemerintah akan berupaya merangkul sebanyak-banyaknya kelompok politik untuk menjadi sekutu.
Hal itu pun menyebabkan pemerintah lebih disibukkan untuk 'bagi-bagi kue' ketimbang bekerja untuk masyarakat.
"Pemerintahan yang bekerja tidak efektif, antara lain karena pemerintahannya jauh lebih disibukkan melakukan konsolidasi kekuatan daripada bekerja untuk rakyat. Memang mengumpulkan sekutu banyak itu memperkuat konsolidasi kekuasaan. Tapi tidak menghasilkan pemerintah yang efisien," ujar Arif.
Diberitakan, usulan itu memang dilontarkan pertama kali Komisi II DPR. Ketua Komisi II DPR RI Zainudin Amali menjelaskan, ada dua alasan mengapa usulan itu dilontarkan.
Pertama, seluruh fraksi di Komisi II sepakat dana saksi parpol tak dibebankan ke parpol agar menciptakan keadilan dan kesetaraan. Sebab, tidak semua parpol peserta Pemilu memiliki cukup dana untuk membiayai saksi.
Kedua, usulan tersebut demi menghindarkan para caleg membiayai saksinya sendiri. Hal itu sudah terbukti menyebabkan dampak negatif.
Meski demikian, Komisi II juga menyerahkan keputusan itu kepada pemerintah.
"Itu tergantung dari kemampuan keuangan pemerintah. Kalau pemerintah menyatakan tidak ada dana yang tersedia, ya sudah. Artinya kembali kepada partai sendiri untuk menanggung itu," kata politikus Partai Golkar itu.
Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, pihaknya cenderung menolak untuk mengelola dana saksi parpol dalam Pemilu 2019. Sebab, UU Pemilu tidak mengamanatkan Bawaslu melakukan fungsi tersebut.