Rezim Soeharto adalah contoh nyata penggunaan PNS dan ASN dalam setiap Pemilu untuk selalu menjadi kemenangan Golkar sejak 1971 hingga 1997. Manajemen kaderisasi Golkar di zaman itu sangat solid karena didukung penuh tiga instrumen utama, yakni aparat militer, birokrat, dan kalangan sipil.
Bagaimana pemerintah setelah Soeharto? Dua Presiden, Gus Dur dan Megawati, adalah masa yang rapuh. Pada masa keduanya, posisi menteri yang mengurus PNS dan ASN itu empat kali berganti dari Freddy Numberi, Ryaas Rasyid, Anwar Supriyadi hingga Feisal Tamin.
Permen baru
Kesuksesan Susilo Bambang Yudhoyono menekuk Megawati pada Pemilu 2004 membawa perubahan pada kementerian yang mengurus PNS dan ASN, di tangan seorang jenderal polisi sekaligus politisi Partai Demokrat, Taufiq Effendi, menangani kementerian yang berganti nama menjadi Pendayagunaan Aparatur Negara Indonesia.
Genap menjabat selama lima tahun, SBY memanjakan PNS. Soal memuaskan atau tidak kenaikan tersebut, setidaknya data menunjukkan sejak 2004 gaji PNS selalu naik bahkan setahun jelang Pilpres 2009, Presiden SBY pun pernah menaikkan gaji PNS sampai 20 persen. Terbesar sejak era Orde Baru.
Belum cukup? Pada masa SBY, tak sedikit tenaga honorer yang diangkat sebagai PNS. Itu masih ditambah gula-gula berupa gaji ke-13 menjelang Pemilu 2009. Hasilnya? Pilpres 2009 relatif mudah dimenangkan.
Bagaimana di masa Jokowi? Sejak awal, penunjukkan Yuddy Chrisnandi sebagai menteri di luar PDI Perjuangan sudah cukup mengejutkan. Namun kejutan terbesar adalah pemberlakukan keputusan moratorium PNS.
Itu belum termasuk keputusan menteri Yuddy saat merilis kinerja akuntabilitas kementerian dan lembaga-lembaga negara. Sejumlah kementerian diberi nilai dan diberi peringkat. Ada yang mendapat nilai tertinggi ada pula yang paling rendah.
Kegaduhan pun terjadi yang pada akhirnya, kondisi konstelasi politik pun menyingkirkan Yuddy ke Ukraina untuk digantikan wakil PAN, Asman Abnur. Pergantian menteri rupanya, tak cukup memuaskan Presiden Jokowi yang gregetan dengan komunikasi publik.
Dalam Rapat Kabinet di Istana Negara pada 1 Februari 2017, Presiden pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap komunikasi publik. Bukan sekali, Presiden mengungkapkan harapannya pada para pembantunya agar memperbaiki komunikasi yang hasilnya belum tampak.
Jika sistem dan pola komunikasi publik pemerintah stagnan dalam kondisi sekarang, pada akhirnya kerja pemerintah tenggelam oleh kabar yang lain. Sayangnya, tak banyak disadari komunikasi publik di Kementerian dan lembaga negara dikerjakan oleh PNS dan ASN.
Presiden Jokowi pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik sekaligus mendukung PP Kominfo No 35 Tahun 2014 yang memberikan ketetapan pengelolaan narasi tunggal komunikasi publik di bawah Kominfo.
Untuk mempercepat harapan Presiden, Menteri Kominfo Rudiantara pun merilis program Tenaga Humas Pemerintah (THP) pada 2015. Harapannya, tenaga profesional humas dapat menjadi ujung tombak komunikasi publik setiap Kementerian dan Lembaga.
Hasilnya? Ditemukan sejumlah fakta. Pertama, sejumlah THP justru dikembalikan ke Kominfo. Kedua, Presiden pun mengungkapkan kekecewaannya. Di luar itu, jarang disadari, gerak langkah Pranata Humas pemerintah diatur oleh Permen PAN RB No 6 Tahun 2014 yang diteken Menteri Azwar Abubakar.
Bagi praktisi humas, akan mudah melihat bagaimana Permen tersebut membuat komunikasi publik pemerintah berjalan lambat dan tidak memacu pranata humas pemerintah untuk mengimbangi derasnya arus informasi negatif.
Satu contoh, sangat rendahnya poin yang didapatkan pranata humas setiap kali mentwit atau mengunggah keberhasilan pemerintah di media sosial. Jadi, mau ganti menteri sekalipun, tanpa Permen baru, wajah pemerintah Jokowi akan selalu minimalis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.