Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Komunikasi Publik Pemerintah, Sisi Lemah Jokowi?

Kompas.com - 22/08/2018, 11:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUNDURNYA Asman Abnur dari posisi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) beberapa pekan lalu merupakan hal menarik pasca-bergesernya dukungan PAN terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Saya tidak tertarik untuk menilik pergantian posisi Menteri PAN-RB dari kacamata peta politik, sebaliknya pergantian posisi Menteri PAN-RB justru sebetulnya terhitung terlambat karena dilakukan di saat kontestasi politik mulai berjalan.

Keterlambatan itu sebagai akibat keputusan Joko Widodo untuk mempercayakan posisi vital tersebut di luar partai PDI Perjuangan. Padahal fungsi sebagai Kementerian PAN-RB adalah membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.

Mengutip data Badan Kepegawaian Negara (BKN), jumlah PNS hingga akhir 2017 mencapai 4,5 juta. Jauh dari ideal karena setiap 1,7 petugas PNS di Indonesia melayani 100 orang.

Baca juga: PAN Tak Dukung Pemerintah, Pergantian Asman Abnur Dinilai Sesuai Etika Demokrasi

Meski belum ideal, kondisi PNS masih lebih lumayan dibandingkan Polri yang satu personelnya mesti melayani 350 orang!

Meski belum ideal dari sisi komposisi, PNS adalah wajah pemerintah. PNS juga memiliki pengaruh di lingkungan sekitar atau dalam spektrum terkecil, yakni keluarga.

Apa yang dirasakan PNS baik untuk mereka, akan dengan sadar dipromosikan pada orang terdekatnya.

Tentu saja, keadaan tersebut berimbas pada kualitas layanan mereka pada masyarakat yang menjadi cerminan kinerja pemerintah. Bukan jalanan, jembatan, waduk ataupun proyek-proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah dengan biaya yang tidak kecil dan ditujukan memudahkan masyarakat.

Sebaliknya, efektivitas dan efisiensi, ditambah keramahan para PNS ketika melayani masyarakatlah yang paling memengaruhi kognitif dan afektif individu yang dilayani oleh PNS. Artinya, jika PNS bekerja dengan maksimal, kesan itu pula yang diterima oleh masyarakat.

Lalu apakah PNS kita saat ini sudah puas dengan pemerintah Jokowi? Sulit mencari data sahih yang bisa menjawab hal tersebut.

Meski demikian, ada beberapa data resmi maupun yang tidak resmi sebagai indikasi yang dapat menjawab hal tersebut.

Pertama, data Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada Juni lalu yang merilis hasil aduan masyarakat terkait dugaan aparatur sipil negara (ASN) terlibat dalam penyebaran berita bohong atau hoaks. Dari 14 laporan yang diterima BKN selama Mei 2018, pelaku ujaran kebencian didominasi dosen ASN.

Kedua, survei Roda Tiga Konsultan (RTK) yang dirilis Mei lalu mendapati responden yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 42,1 persen memilih Prabowo dan hanya 21,1 persen yang memilih kembali Jokowi.

Baca juga: Puan Sebut Asman Abnur Dicopot demi Penguatan Koalisi Indonesia Kerj

Benar bahwa PNS maupun ASN dilarang terlibat politik praktis, namun kembali lagi pada posisi mereka sebagai ujung tombak komunikasi menjadi satu faktor pembentuk citra pemerintah.

Sejarah politik di Indonesia akan selalu mencatat bagaimana vitalnya PNS dan ASN dalam setiap Pemilu.

Rezim Soeharto adalah contoh nyata penggunaan PNS dan ASN dalam setiap Pemilu untuk selalu menjadi kemenangan Golkar sejak 1971 hingga 1997. Manajemen kaderisasi Golkar di zaman itu sangat solid karena didukung penuh tiga instrumen utama, yakni aparat militer, birokrat, dan kalangan sipil.

Bagaimana pemerintah setelah Soeharto? Dua Presiden, Gus Dur dan Megawati, adalah masa yang rapuh. Pada masa keduanya, posisi menteri yang mengurus PNS dan ASN itu empat kali berganti dari Freddy Numberi, Ryaas Rasyid, Anwar Supriyadi hingga Feisal Tamin.

 

Permen baru

Kesuksesan Susilo Bambang Yudhoyono menekuk Megawati pada Pemilu 2004 membawa perubahan pada kementerian yang mengurus PNS dan ASN, di tangan seorang jenderal polisi sekaligus politisi Partai Demokrat, Taufiq Effendi, menangani kementerian yang berganti nama menjadi Pendayagunaan Aparatur Negara Indonesia.

Genap menjabat selama lima tahun, SBY memanjakan PNS. Soal memuaskan atau tidak kenaikan tersebut, setidaknya data menunjukkan sejak 2004 gaji PNS selalu naik bahkan setahun jelang Pilpres 2009, Presiden SBY pun pernah menaikkan gaji PNS sampai 20 persen. Terbesar sejak era Orde Baru.

Belum cukup? Pada masa SBY, tak sedikit tenaga honorer yang diangkat sebagai PNS. Itu masih ditambah gula-gula berupa gaji ke-13 menjelang Pemilu 2009. Hasilnya? Pilpres 2009 relatif mudah dimenangkan.

Bagaimana di masa Jokowi? Sejak awal, penunjukkan Yuddy Chrisnandi sebagai menteri di luar PDI Perjuangan sudah cukup mengejutkan. Namun kejutan terbesar adalah pemberlakukan keputusan moratorium PNS.

Itu belum termasuk keputusan menteri Yuddy saat merilis kinerja akuntabilitas kementerian dan lembaga-lembaga negara. Sejumlah kementerian diberi nilai dan diberi peringkat. Ada yang mendapat nilai tertinggi ada pula yang paling rendah.

Kegaduhan pun terjadi yang pada akhirnya, kondisi konstelasi politik pun menyingkirkan Yuddy ke Ukraina untuk digantikan wakil PAN, Asman Abnur. Pergantian menteri rupanya, tak cukup memuaskan Presiden Jokowi yang gregetan dengan komunikasi publik.

Dalam Rapat Kabinet di Istana Negara pada 1 Februari 2017, Presiden pun mengungkapkan kekecewaannya terhadap komunikasi publik. Bukan sekali, Presiden mengungkapkan harapannya pada para pembantunya agar memperbaiki komunikasi yang hasilnya belum tampak.

Jika sistem dan pola komunikasi publik pemerintah stagnan dalam kondisi sekarang, pada akhirnya kerja pemerintah tenggelam oleh kabar yang lain. Sayangnya, tak banyak disadari komunikasi publik di Kementerian dan lembaga negara dikerjakan oleh PNS dan ASN.

Presiden Jokowi pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik sekaligus mendukung PP Kominfo No 35 Tahun 2014 yang memberikan ketetapan pengelolaan narasi tunggal komunikasi publik di bawah Kominfo.

Untuk mempercepat harapan Presiden, Menteri Kominfo Rudiantara pun merilis program Tenaga Humas Pemerintah (THP) pada 2015. Harapannya, tenaga profesional humas dapat menjadi ujung tombak komunikasi publik setiap Kementerian dan Lembaga.

Hasilnya? Ditemukan sejumlah fakta. Pertama, sejumlah THP justru dikembalikan ke Kominfo. Kedua, Presiden pun mengungkapkan kekecewaannya. Di luar itu, jarang disadari, gerak langkah Pranata Humas pemerintah diatur oleh Permen PAN RB No 6 Tahun 2014 yang diteken Menteri Azwar Abubakar.

Bagi praktisi humas, akan mudah melihat bagaimana Permen tersebut membuat komunikasi publik pemerintah berjalan lambat dan tidak memacu pranata humas pemerintah untuk mengimbangi derasnya arus informasi negatif.

Satu contoh, sangat rendahnya poin yang didapatkan pranata humas setiap kali mentwit atau mengunggah keberhasilan pemerintah di media sosial. Jadi, mau ganti menteri sekalipun, tanpa Permen baru, wajah pemerintah Jokowi akan selalu minimalis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com