Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Jangan Lupakan Sila Kelima

Kompas.com - 14/08/2018, 07:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANCASILA sudah disepakti sebagai dasar yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia jauh hari sebelum reformasi bersemi. Setelah rezim Soeharto lengser pun, Pancasila masih kokoh dipertahankan di posisi semula.

Oleh karenanya, terbukanya keran demokratisasi bukan berarti bak air yang mengalir ke selokan, terus-menerus mencari titik terendah, sampai kembali lagi ke dalam tanah atau ke sungai dan laut. Tetapi, justru harus berlabuh kembali kepada Pancasila yang setali tiga uang dengan UU Dasar 1945. Sehingga, demokratisasi bukanlah sebuah tujuan dan bukan pula roh yang menyetir Pancasila.

Lihat saja, secara numerik bisa dibaca bahwa substansi demokrasi diletakkan oleh para Founding Fathers kita di nomor empat. Bahwa ada nilai yang lebih tinggi yang harus diraih setelah Indonesia menikmati demokrasi, yakni keadilan sosial.

Jadi, sudah menjadi imperatif ideologis bagi bangsa Indonesia untuk berjuang tanpa lelah menjaga irama demokratisasi sampai ke titik konsolidasi sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila.

Kemudian, jika irama demokrasi  sudah relatif stabil, baik secara institusional maupun prosedural, maka sila kelima Pancasila akan menyempurnakannya (keadilan sosial).

Dengan sederhana bisa diartikan bahwa dibutuhkan komitmen demokrasi yang tinggi, konsisten, dan berkelanjutan, untuk memperjuangkan berdiri tegaknya keadilan sosial dan bertumbuhkembangnya kesejahteraan masyarakat.

Dengan lain perkataan, segala daya upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi sejatinya harus pula berbanding lurus dengan konsistensi dan sustainabilitas peningkatan kualitas keadilan sosial untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Idealitas ideologis semacam itu tentu sekadar netral di atas kertas, namun cenderung distortif dan reduktif pada tataran teknis operasionalnya.

Demokratisasi pastinya bukanlah sekadar urusan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil semata (procedural democracy) sebagaimana yang digagas oleh Joseph Shcumpeter puluhan tahun lalu dalam bukunya "Capitalism, Socialism, and Democracy" sering pula disebut sebagai scumpeterian democracy, misalnya.

Demokrasi juga soal persamaan kesempatan beserta segala usaha untuk mendukung kesamaan kapasitas semua warga negara di segala bidang persaingan (pemberdayaan/empowerment).

Artinya, persamaan kesempatan tidak hanya soal aturan main yang fair (fair play), tetapi juga harus diiringi dengan upaya-upaya untuk menyeimbangkan kapasitas persaingan (playing level capacity), harus ada proteksi untuk yang tak berdaya dan dukungan serta keberpihakan untuk yang lemah.

Apalagi jika demokratisasi tersebut berjalan di bawah agenda setting liberalisasi ekonomi dengan panji-panji globalisasi, misalnya. Maka, pertaruhannya adalah amanat konstitusi yang mengharuskan negara untuk melindungi segenap tumpah darah dan seluruh rakyat Indonesia.

Liberalisasi ekonomi akan mereduksi kekuasaan negara atas eksistensi pasar (self regulating market) dan membiarkan dinamika ekonomi bergerak dalam peta buta "invisible hand" ala Adam Smith.

Nah, darwinisme ekonomi semacam itu pada gilirannya akan memperbesar ketimpangan ekonomi dan mendorong terjadinya alienasi sosial terhadap lapisan masyarakat yang tak berdaya, masyarakat yang terpinggirkan oleh ganasnya persaingan kehidupan sosial ekonomi.

Arti lanjutannya, agenda kesejahteraan sosial juga akan tersubordinasi ke bawah bayang-bayang kepentingan pihak-pihak yang kuat atau pemilik modal semata.

Walhasil, Pasal 33 UUD 1945 yang berfungsi sebagai roh dari demokrasi ekonomi Pancasila akan terus digiring menjauh dari idealitas konstitusionalnya. Padahal, Bung Hatta sudah berjibaku hampir setengah mati untuk memperjuangkan Pasal 33 tersebut masuk ke dalam batang tubuh UUD 1945 di tengah-tengah sengitnya percaturan ideologi antara sayap kiri dan sayap kanan waktu itu.

Pada akhirnya, Bung Hatta bisa mendamaikan keduanya cuma dengan satu pasal plus tiga ayat tersebut.

Tentu spirit yang terkandung di dalamnya tidak hanya berkat andil besar dari moralitas dan intelektualitas ekonomi seorang Mohamad Hatta saja. Bahkan substansi dalam pasal tersebut ia serap dengan sangat brilian dari Tan Malaka sekira dua puluh tahunan sebelum UUD 1945 ada.

Ketika Hatta masih menjadi seorang mahasiswa baru di Belanda, pada Juli 1922, ia pernah bertemu dengan Tan Malaka di Berlin, Jerman.

Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Darsono itulah, Hatta mendapatkan pemahaman awal mengenai interpretasi Tan Malaka terkait "komunisme", yang notabene berbeda jauh dari interpretasi versi Stalin.

Dalam penjelasan Tan Malaka mengenai "diktatur proletariat" di pertemuan itu, yang juga sekaligus merupakan kritik Tan Malaka terhadap interpretasi Stalin dan Uni Soviet, Hatta memperoleh kata-kata yang belakangan menjadi "keramat", yakni produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.

Ya, kata-kata yang belakangan menjadi penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945 itu diserap oleh Hatta dari Tan Malaka, meski secara redaksional ditampilkan dalam bahasa yang konstektual dan tidak tendensius.

Nah, liberalisasi ekonomi yang ingin dipagari oleh pasal Bung Hatta tadi akan membuat kekuasaan pemerintah (penguasa) menjadi tumpul pada sisi-sisi tertentu dan dialihkan pada mekanisme dan dinamika pelaku pasar, baik domestik maupun  global.

Namun celakanya, di sisi lain, penguasa (atau calon penguasa) justru kian membutuhkan sumber-sumber dana alternatif untuk memenangi kontestasi demokrasi yang semakin mahal.

Yang membuat situasinya menjadi dilematis adalah di satu sisi kekuasaan politik terhadap dinamika ekonomi relatif konstan, bahkan tak jarang malah berkurang, namun di sisi lain aktor-aktor ekonomi (pengusaha, konglomerasi, multinational company, transnational company, dll) terjun ke arena politik untuk menawarkan sumber-sumber dana alternatif demi membiayai kontestasi demokrasi (political financing) yang kian mahal tersebut.

Dalam relasi mutualisme simbiosis semacam itulah barter dan konsesi-konsesi ekonomi politik dilahirkan (Stein Ringen, Jurnal Democratization, vol. 11, April 2004).

Selanjutnya, di bawah agenda setting seperti itu pula, akhirnya aglomerasi modal hanya akan berpusat di lingkaran segelintir elite ekonomi (konglomerasi) yang mampu menjamin ketersediaan dana untuk menutupi ongkos kontestasi demokrasi yang super mahal.

Hampir pasti, relasi ekonomi politik koruptif seperti itu akan menjadi biang perlambatan pembangunan dan meningkatkan disparitas antara kalangan berada (the have) dan kalangan papa (the have no) alias minimnya pemerataan.

Sebagai pertanyaan penutup, mampukah kesaktian Pancasila mengatasi dilema demokrasi ekonomi semacam itu demi jalan lurus menuju sila kelima?

Saya masih sangat ragu untuk mengatakan "ya" ataupun "tidak". Karena, pada dasarnya sejarah membuktikan bahwa political will pemenang kontestasi, dalam hal ini, jauh lebih sakti ketimbang Pancasila itu sendiri.

Sampai hari ini, Pancasila memang tidak sempat dijadikan rumus kode buntut seperti yang dilirikkan Iwan Fals.

Tetapi saat ditanya apakah Pancasila akan berbicara banyak untuk mengatasi permsalahan di atas, tampaknya Ebit G Ade lebih cocok untuk menjawabnya. "Silakan bertanya kepada rumput yang bergoyang."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Nasional
Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum 'Move On'

Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum "Move On"

Nasional
Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Nasional
Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Nasional
Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Nasional
Tepati Janji, Jokowi Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas Sulbar

Tepati Janji, Jokowi Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas Sulbar

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com